Sejarawan Anggap Jokowi Ejek Founding Fathers seusai Sebut Istana Jakarta dan Bogor Bau Kolonial
Sejarawan menganggap Jokowi telah mengejek pendiri bangsa atau founding fathers usai menyebut Istana Kepresidenan di Jakarta dan Bogor bau kolonial.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Sejarawan, JJ Rizal mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut Istana Jakarta dan Istana Bogor berbau kolonial karena pernah dihuni oleh Gubernur Jenderal di era penjajahan Belanda.
Awalnya, Rizal mengatakan Jokowi tidak memahami bahwa kolonialisme itu bukan disematkan kepada bangunan, tetapi dalam pemikiran.
"Lagi ramai ada yang ngomong bahwa tinggal di Istana saban (setiap) hari mencium bau kolonial dan jadi was-was, justru saya jadi was-was ketika ada yang ngomong kayak begitu."
"Artinya orang yang ngomong bahwa di Istana mencium bau kolonial setiap hari itu nggak paham bahwa kolonialisme itu bukan bangunan, kolonialisme itu pikiran," katanya dalam video yang diunggah di akun Instagram pribadnya, @jjrizal seperti dikutip pada Rabu (14/8/2024).
Selain itu, Rizal juga menganggap bahwa Jokowi telah mengejek para pendiri bangsa atau founding fathers yang tidak pernah merasa keberatan ketika tinggal di bangunan-bangunan yang berdiri di era kolonialisme Belanda.
Padahal, sambungnya, para pendiri bangsa justru menjaga dan menggunakan bangunan era kolonial sebagai tanda kesuksesan mengusir penjajah.
"Jadi menurut saya, orang yang ngomong bahwa kolonialisme itu bentuknya benda, itu bukan hanya tidak paham kolonialisme itu pikiran, tapi dia juga mengejek para pendiri bangsa yang tidak pernah merasa keberatan dengan bangunan-bangunan kolonial dan ingin menghancurkan."
"Justru mereka menjaga bangunan kolonial itu, menggunakan bangunan kolonial itu sebagai simbol sukses (mengusir penjajah -red)," kata Rizal.
Rizal mencontohkan ketika Istana Negara diubah menjadi Monumen Kemerdekaan sekaligus jalan di sekitar kawasan tersebut juga diubah menjadi Jalan Merdeka.
Baca juga: Saat Presiden Jokowi Jajal Trem Otonom di Ibu Kota Negara
Dia mengungkapkan pengubahan nama tersebut demi mengingatkan masyarakat bahwa nasionalisme yang dianut bangsa Indonesia merupakan antitesis dari kolonialisme.
"Soekarno bahkan untuk menetapkan Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia dan tahun 1964 itu dilakukan dan dia tidak pernah lagi ngomong pindah ibu kota karena dia sebagai arsitek mengubah wajah kota kolonial menjadi wajah kota nasional yaitu dari Batavia diubah menjadi Jakarta," jelas Rizal.
Lantas, Rizal pun menyarankan masyarakat membaca buku berjudul 'Hari-Hari Terakhir Soekarno' karya Peter Kasenda agar tidak terjebak pada nasionalisme yang sempit.
Menurutnya, dalam buku tersebut, nasionalisme yang dianut oleh Bung Karno adalah nasionalisme inklusif.
"Lewat buku ini, kita bisa melihat nasionalisme Soekarno itu bukan nasionalisme yang picik, nasionalisme yang cupek (sempit -red)."