Mahfud MD: Boleh Berebut Kekuasaan Asal Jangan Bunuh Hak Orang Lain
Mahfud MD mengungkapkan, tidak ada yang salah dalam merebutkan kekuasaan selama hal itu tidak membunuh hak orang lain, Jumat (23/8/2024).
Penulis: tribunsolo
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyampaikan pandangannya terkait langkah DPR RI, yang sempat menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat pencalonan kepala daerah.
Mahfud menilai, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah dibutakan oleh ambisi yang besar untuk sekadar membagi-bagikan kekuasaan di antara kelompoknya sendiri.
Hal itu dibuktikan dengan adanya upaya merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
Namun, kini DPR batal mengesahkan Revisi UU Pilkada.
“Menurut saya ya, dibutakan oleh ambisi besar untuk bagi-bagi kekuasaan di antara kelompoknya sendiri,” ujar Mahfud, dikutip dari YouTube Mahfud MD Official, Jumat (23/8/2024).
Disampaikan Mahfud, tidak ada yang salah dengan saling memperebutkan kekuasaan.
Bahkan, menurutnya, tak jadi masalah bila berkoalisi dengan pihak tertentu dalam memperebutkan kekuasaan.
“(berebut kekuasaan) Boleh sangat boleh, bersiasat juga boleh. Saya berkoalisi dengan kamu untuk ini,” ungkapnya.
Namun, Mahfud mengatakan, jangan sampai upaya perebutan kekuasaan tersebut, membunuh hak orang lain.
Ia juga menolak keras penggunaan cara-cara koruptif hanya demi mendapatkan kekuasaan semata.
“Tapi jangan membunuh hak orang lain dan jangan dengan cara koruptif,” ujarnya.
Disampaikannya, cara koruptif tidak hanya berbentuk uang saja.
Baca juga: Mahfud Dukung Putusan MK, Sebut Bisa Minimalisir Kotak Kosong dan Calon Boneka di Pilkada 2024
Melainkan, juga berupa upaya-upaya sabotase dengan menentang konstitusi.
Menurutnya, hal itu merupakan tindakan merusak konstitusi.
“(koruptif) Tidak hanya uang, juga itu ngatur-ngatur hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi lalu disahkan atas nama stempel DPR, stempel parpol yang digabung di DPR. Nah itu merusak,” tuturnya.
Kemudian, Mahfud berpendapat, tindakan pelanggaran konstitusi tersebut, sebagai bentuk penjajahan baru dari suatu kelompok.
Menurutnya, penjajahan tersebut akan terus terjadi apabila hal itu dianggap wajar.
Mahfud pun beranggapan, pelaku penjajahan saat ini berpotensi menjadi korban juga di masa mendatang.
“Dan itu akan terus terjadi, kalau sekarang dia melakukan nanti pada saatnya dia akan terkena juga (penjajahan),” ungkap Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud menyampaikan ajakannya agar senantiasa mengikuti konstitusi.
“Mari kita ikuti saja konstitusi, mencintai negara ini dengan segala berkah yang melekat,” pungkasnya.
Mahfud MD Tegaskan Bahaya Melanggar Konstitusi
Sebelumnya, Mahfud MD turut memberikan pernyataan terkait langkah DPR RI yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat pencalonan kepala daerah.
Ia mengingatkan pimpinan partai politik dan anggota DPR terkait situasi politik Indonesia saat ini.
Mahfud menilai, berpolitik dan menyiapkan strategi untuk mendapat bagian dari kekuasan, adalah hal yang wajar.
Bahkan, kata Mahfud, hal-hal tersebut menjadi bagian dari rakyat Indonesia untuk membangun negara merdeka.
Baca juga: Mahfud MD Sebut Putusan MA Soal Syarat Batas Usia Calon Kepala Daerah Teranulir oleh Putusan MK
Meski demikian, ada prinsip demokrasi dan konstitusi yang perlu diperhatikan.
"Putusan MK adalah tafsir resmi konstitusi yang setingkat UU. Berpolitik dan bersiasat untuk mendapat bagian dalam kekuasaan itu boleh dan itu memang bagian dari tujuan kita membangun negara merdeka."
"Tetapi, ada prinsip demokrasi dan konstitusi yang mengatur permainan politik," kata Mahfud di X, Kamis (22/8/2024).
"Adalah sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia jika melalui demokrasi prosedural (konspirasi dengan menang-menangan jumlah kekuatan hanya dengan koalisi taktis) siapapun merebut kue-kue kekuasaan dengan melanggar konstitusi," imbuhnya.
Sebagai informasi, MK memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai disamakan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/non-partai, sebagaimana menurut Pasal 41 dan 42 Undang-undang Pilkada, Selasa (20/8/2024).
MK juga menegaskan, syarat usia calon kepala daerah, yaitu minimal 30 tahun, dihitung sejak penetapan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun sehari setelah putusan MK, Baleg DPR RI langsung mengadakan rapat membahas revisi Undang-undang Pilkada, Rabu (21/8/2024).
Dalam rapat bersama Panitia Kerja (Panja), Baleg DPR RI mengubah putusan MK, hanya memberlakukan syarat ambang batas pengusungan calon di Pilkada bagi partai yang tidak lolos DPRD.
Sementara, terkait batas usia pencalonan kepala daerah, Baleg DPR RI menolak menjalankan putusan MK, dan justru mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang kontroversial.
Syarat batas usia berdasarkan putusan MA itu telah tertuang dalam Pasal 15 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Bunyi pasal tersebut, yakni "Syarat berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d terhitung sejak pelantikan Pasangan Calon terpilih."
Hal tersebut, menuai banyak respons hingga mahasiswa, publik figur turun ke jalan menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, pada Kamis kemarin.
Kemudian, pihak DPR kini batal sahkan revisi UU Pilkada.
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mahfud MD Tegaskan Putusan MK Setingkat UU: Sangat Berbahaya jika Rebut Kekuasaan Langgar Konstitusi
(mg/Roby Danisalam)
Penulis adalah peserta magang dari Universitas Sebelas Maret (UNS).