RUU Perampasan Aset Digantung Puluhan Tahun, Pengamat Dorong Segera Dituntaskan
Guru Besar Hukum Pidana UKI Jakarta, Mompang L. Panggabean, meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana harus segara disahkan
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana UKI Jakarta, Mompang L. Panggabean, meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana harus segara disahkan untuk merampas aset-aset terkait tindak pidana kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Pernyataan itu disampaikan dalam Ngeteh Bareng dan Diskusi Ilmiah bertajuk “Quo Vadis Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana” gelaran DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) dan Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jakarta yang dipandu Sekretaris DPC Peradi Jakbar, Herry Suherman pada Jumat (25/8/2024).
“Rezim yang akan datang bisa mengakomodasi pemikiran yang sudah dirumuskan cukup lama bahkan hampir 20 tahun,” kata dia dalam keterangannya pada Minggu (25/8/2024).
Menurut dia, RUU Perampasan Aset perlu mengatur lebih jelas lagi mengenai substansi hukum supaya bisa melihat bagaimana menggunakan piranti perampasan aset.
Dia menilai harus ada lembaga yang khusus menangani perampasan aset hasil tindak pidana dengan aturan yang detail dan tidak berbenturan dengan lembaga lain.
Kemudian, perlunya menciptakan budaya hukum masyarakat dan penegak hukum untuk mendukung lembaga perampasan aset serta lembaga pendukungnya.
“Lembaga-lembaga pendukung seperti Bank Indonesia, OJK, PPATK, dan sebagainya yang nantinya bisa bekerja sama dalam pemulihan hasil tindak pidana,” tandasnya.
Sementara itu,, Dewan Pakar DPC Peradi Jakbar, Hendrik Jehaman mengatakan, RUU Perampasan Aset ini harus segera disahkan.
“Saya pikir ini sudah mendesak karena UU Tindak Pidana Korupsi itu tidak mengakomodir soal aset,” katanya dalam acara yang dihadiri sekitar 90 peserta offline dan 150 online.
Hendrik lebih lanjut menyampaikan, pengesahan RUU Perampasan Aset ini merupakan jawaban untuk memiskinkan para pelaku tindak pidana kejahatan bukan hanya korupsi, tapi juga tindak pidana lainnya, misalnya narkotika dan judi online (judol).
“Bicara pemiskinan, ini sebanarnya, semua hartanya diambil. Buktikan kalau kamu punya harta, pembuktian terbalik karena ini bicara harta, bukan kamu salah atau benar,” ujarnya.
Menurut Hendrik, kalau tidak bisa membuktikan bahwa aset atau harta itu diperoleh sesuai ketentuan atau halal, maka dirampas oleh negara. “Kita fokus di aset bukan orangnya,” ujar dia.
Kasubdit Pelacakan Aset dan Pengelolaan Barang Bukti Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), Dr. Arif Zahrulyani, S.H., M.H., menyampaikan, ada beberapa hambatan karena belum adanya UU Perampasan Aset.
“Indonesia memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset hasil tidak pidana berdampak tidak optimlanya upaya asset recovery hasil tindak pidana,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, kekosongan hukum perampasan aset ini mengakibatkan sulitnya perampasan aset yang sulit dibuktikan tindak pidananya.
“Ini termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia,” ucapnya.
Ketua DPC Peradi Jakbar, Dr. Suhendra Asido Hutabarat, menyampaikan, sesi kedua Ngeteh Bareng ini sengaja mengangkat tema tersebut karena RUU Perampasan Aset ini belum juga disahkan oleh DPR dan pemerintah meski sudah sempat masuk Prolegnas.
“Tujuannya bagaimana mencari cara untuk asset recovery kerugian negara sehingga tidak terjadi kerugian yang signifikan,” ucapnya.
Ketua Panitia Pelaksana Ngeteh Bareng “Diskusi Ilmiah Quo Vadis Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana”, Haetami, menyampaikan, selain untuk menambah ilmu pengetahuan, ajang ini untuk mempererat silaturahmi advokat, penegak hukum, akademisi, dan profesi lainya.
“Ngeteh bareng ini ada hikmahnya, kita bisa mendapatkan wawasan, ilmu dari para pemateri yang andal. Nanti ilmu ini kita praktikkan dalam profesi kita sebagai pengacara,” katanya.