GAPPRI Tolak PP Kesehatan, Singgung Dampak Sosial yang Berpotensi Muncul
GAPPRI menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) secara tegas menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Penolakan ini lantaran ruang lingkup pengamanan zat adiktif yang termuat dalam Pasal 429 - 463 dinilai bisa mengancam kedaulatan negara dan berdampak ganda bagi keberlangsungan industri kretek nasional legal di tanah air.
Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan mencontohkan, Pasal 435 yang berbunyi 'Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan'.
Ia mensinyalir Pasal 435 jadi upaya menuju kemasan polos yang sudah lama jadi misi kelompok anti tembakau yang memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Perlu dicatat, negara yang mempunyai industri rokok yang besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, Argentina, dan lain-lain secara gamblang menolak diintervensi dalam mengatur industri tembakau di negaranya masing-masing," kata Henry dalam keterangannya, Jumat (30/8/2024).
Ia kemudian merujuk kajian GAPPRI, di mana proses penyusunan PP 28/2024 sejak awal sudah menuai polemik, tidak transparan dan tanpa partisipasi bermakna.
Padahal, partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan yang terdampak dijamin dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.
Henry menegaskan, upaya pemerintah memperketat regulasi dengan memberlakukan PP 28/2024 khususnya Pasal 429 - 463, tidak hanya mematikan pabrik rokok kretek legal, tapi juga dampak sosialnya.
Henry mengungkapkan, industri kretek legal nasional sudah dalam kondisi rentan yang terlihat dari turunnya jumlah pabrik dari 4.000 di tahun 2007 menjadi 1.100 pabrik di tahun 2022.
Tak pelak, pemerintah perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar yang akan memberikan konsekuensi ekonomi maupun sosial.
“Negara juga akan kehilangan penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) konvensional yang sangat besar, dan akan dibarengi dengan massifnya peredaran rokok ilegal,” tegas Henry.
GAPPRI juga mencatat, PP 28/2024 disinyalir melanggar Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang penghormatan hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) warga negara dengan masing-masing profesinya.
Ia khawatir, terbitnya PP 28/2024 berpotensi menciptakan konflik sosial baru dalam pengawasan terhadap implementasi pasal-pasalnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa regulasi itu belum tentu bisa mencapai tujuan pembuatannya lantaran penerapannya di lapangan tidak efektif.
“Pengesahan PP 28/2024 membuktikan pemerintah gagal menyajikan keseimbangan perspektif antara kesehatan publik dan penguatan ekonomi dengan mengorbankan warga negaranya sendiri dan lebih memihak kepentingan asing,” kata dia.
Dirinya mengungkap pemerintah seharusnya menyadari saat proses membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, bukan hanya mempertimbangkan satu aspek (kesehatan) saja.
Baca juga: Pelaku Industri Tembakau Alternatif Desak Pemerintah Revisi PP 28/2024, Ini Alasannya
“Dalam kasus PP 28/2024, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, dan kontinuitas sektor industri kretek legal nasional, hingga penerimaan negara,” terang Henry Najoan.
Apalagi kata dia, secara umum hukum internasional suatu negara atau pihak asing lainnya dilarang campur tangan dalam urusan negara lain.
“Kami tegaskan, GAPPRI menolak keras PP 28/2024," kata dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.