Perjuangan Gabriel Dalang Cilik Anak Tukang Rosok, Lestarikan Budaya di Tengah Keterbatasan yang Ada
Sepenggal kisah inspiratif perjuangan Gabriel Sanata Putra untuk menjadi dalang profesional dimulai sejak kecil.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Nanda Lusiana Saputri
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Gabriel Sanata Putra (16), dalang cilik dari Solo, Jawa Tengah menjadi contoh nyata keterbatasan tidak mampu memadamkan kobaran api perjuangan meraih harapan.
Lahir dari keluarga serba kekurangan dengan ayah yang bekerja sebagai pencari rosok atau pemulung, Gabriel tidak membiarkan kekurangan materi menghentikan langkahnya meraih cita-cita.
Saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Gabriel sudah meraih prestasi menjuarai Festival Dalang Cilik yang diselenggarakan Pemerintah Kota Surakarta tahun 2021 lalu.
Gabriel yang saat ini baru saja masuk bangku SMK, menceritakan ketertarikannya terhadap wayang berawal dari melihat pertunjukan wayang di YouTube.
“Saya suka wayang mulai kelas III SD, saat itu minta dibelikan wayang buto, sama ayah dibelikan dengan harga Rp 20 ribu,” ujar Gabriel saat dijumpai Tribunnews di sekolahnya, Senin (26/8/2024).
Gabriel saat ini bersekolah di SMKN 8 Surakarta, atau terkenal dengan nama SMKI, kependekan dari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia.
Remaja kelahiran 12 April 2008 itu mengambil jurusan Seni Pedalangan.
Ikut Ayah Memulung saat Kecil
Masa kecil Gabriel tidak seindah anak kecil lain pada umumnya.
Di usia belia, Gabriel kerap ikut ayahnya, Joko Sudarmanto, pergi memulung.
Baca juga: Dewan Kesenian Jakarta Sarankan Pembentukan Kementerian Kebudayaan, Ini Alasannya
Tangan kecilnya mengambil dan memasukkan barang bekas seperti botol plastik hingga kardus ke dalam karung.
“Sejak kecil saya ikut cari rosok, saya bawa karung sendiri,” ujarnya.
Selain mencari rosok, saat itu sang ayah juga membuka warung angkringan atau orang Solo bilang ‘hik’.
Saat sang ayah mencari rosok, Gabriel kecil bergantian berjualan di angkringan itu.
Tetapi, angkringan itu kini tinggal kenangan karena digusur oleh pemilik lahan.
Sempat Alami Perundungan dan Diskriminasi
Perjalanan Gabriel belajar seni wayang tak luput dari bullying hingga diskriminasi.
Jauh sebelum Gabriel meraih prestasi jawara Dalang Cilik, sang ayah yang menyadari Gabriel memiliki minat besar di dunia dalang mencarikan sanggar seni untuk sang anak berlatih.
Tetapi, dalam perjalanannya, sang ayah tidak mampu membayar sanggar karena kondisi ekonomi.
Belum lagi Gabriel juga mendapat diskriminasi dan diremehkan karena kondisi sang ayah yang dipandang sebelah mata.
“Saya pernah merasakan diremehkan, tidak diberi kesempatan maju lomba, ayah juga diremehkan apa bisa membayar biaya pentas yang tidak sedikit,” ujar Gabriel.
“Saya juga kerap dijelek-jelekkan, tapi itu jadi penyemangat saya untuk kemudian berlatih, hujan banjir saya trabas buat latihan demi membanggakan ayah,” imbuhnya.
Tekanan yang sempat Gabriel rasakan membuatnya sempat tidak mau memegang wayang lagi.
Tetapi, motivasi kuat sang ayah kembali menyalakan api semangat dalam diri Gabriel.
Hingga pada akhirnya Gabriel mengikuti Festival Dalang Cilik Surakarta 2021.
Saat itu masih pandemi, peserta lomba mengirimkan video di babak penyisihan.
Gabriel akhirnya berhasil masuk babak final dan tampil di sana.
Alhasil, dengan motivasi penuh, Gabriel berhasil meraih predikat dalang cilik terbaik di kategori sabet dan juara 2 umum.
Pentas dengan Biaya Sendiri
Meraih prestasi dalang cilik bukanlah akhir dari perjuangan Gabriel.
Keinginan besar untuk bisa pentas mendalang membuat sang ayah berusaha mencari cara agar sang anak bisa tampil meski harus merogoh kocek sendiri.
Seperti pada malam tirakatan peringatan HUT ke-79 RI pada 16 Agustus 2024 kemarin.
Gabriel tampil menghibur warga di Kelurahan Sekip, Banjarsari, Surakarta.
“Itu saya disuruh tapi juga mengajukan sendiri, tidak dibayar, dibiayai bapak.”
“Bapak berpesan, golek jeneng sik, jenange mara dewe,” ujarnya.
Kalimat itu bermakna yang penting orang mengenal nama kita dulu, nanti rezeki akan mengikuti sendiri.
“Yang penting saya bisa mayang,” ungkap Gabriel.
Gabriel mengungkapkan, untuk membiayai pentasnya, sang ayah merogoh biaya hampir Rp 5 juta.
“Itu untuk membayar wiyaga (penabuh gamelan), sinden, sewa wayang, geber, sampai biaya latihan,” ujarnya.
“Sama Tuhan sudah dikasih rezeki, ngedur juga bapak kerjanya, kerja ekstra banting tulang,” tambahnya.
Saat pentas di malam peringatan Kemerdekaan Indonesia, Gabriel membawakan cerita Sumantri Ngenger.
“Saya kalau mendengarkan cerita Sumantri Ngenger bisa nangis, kalau memainkan juga nangis,” ungkap Gabriel.
Hal itu dikarenakan Gabriel merasakan ada kemiripan cerita Sumantri Ngenger dengan penggal kisah kehidupannya.
Kisah Sumantri, seorang ksatria menghadapi berbagai ujian dan rintangan untuk membuktikan kesetiaannya.
Gabriel senang, penampilannya membawakan cerita Sumantri Ngenger mendapat apresiasi dari masyarakat.
Cita-cita Gabriel
Salah satu cita-cita Gabriel telah ia capai, yaitu menimba ilmu di SMKN 8 Surakarta, sekolah kejuruan khusus kesenian.
“Sejak SD ingin sekolah di sini, bapak suka melewatkan saya di depan sekolah ini, saya sempat bertanya ‘Yah, apa saya bisa masuk situ ya yah?’ lalu ayah menjawab ‘ya bisa asal mau belajar’,” ungkap Gabriel menirukan percakapannya dengan sang ayah.
Gabriel bertekad menjadi murid kebanggaan sekolahnya.
“Kalau ada event-event dalang saya ingin mengajukan diri, saya bisa membalas jasa SMK lewat itu, saya harus bisa belajar giat,” ujar Gabriel.
Ke depannya, Gabriel berharap bisa melanjutkan studi di Institut Seni Indonesia (ISI).
Selain ingin menjadi dalang profesional, Gabriel ingin menjadi dosen.
“Cita-cita saya ingin jadi dosen atau dalang kondang, kalau mantapnya hati saya ingin membantu sesama, saya pernah merasakan di bawah.”
“Saya ingin mengembangkan kesenian, menerima orang lain belajar dengan saya tanpa diskriminasi. Saya tidak ingin orang lain merasakan apa yang saya rasakan,” ungkap Gabriel.
Dukungan Pihak Sekolah
Sementara itu, Kepala SMKN 8 Surakarta, Wening Sukmanawati mengaku bangga dan mengapresiasi perjuangan Gabriel.
Wening mengatakan, Gabriel masuk ke SMKN 8 Surakarta melalui tes minat bakat sekaligus memiliki nilai yang bagus.
Ia mengaku sempat heran, jarang ada anak dari Solo memiliki bakat menjadi dalang.
Biasanya, murid-murid Seni Pedalangan berasal dari daerah luar kota.
“Waktu itu saya suruh dia untuk ontowecono (bernarasi), dan ternyata dia bisa, saya suruh dia suluk, bisa juga,” ungkap Wening.
Ia juga mengatakan sekolah siap mendukung seluruh peserta didik meraih cita-citanya, termasuk Gabriel.
Selain lewat pembelajaran ilmu pedalangan di kelas, Wening akan berusaha memberikan kesempatan muridnya untuk menampilkan keahlian yang dimiliki.
“Nanti anak-anak yang berprestasi akan kami kumpulkan di komunitas dalang, kita cari event agar mereka bisa tampil, jadi supaya mereka memiliki jam terbang tinggi,” ungkapnya.
Wening juga berharap pemerintah membuka ruang lebih lebar terhadap dunia seni.
“Harapan saya semoga banyak kompetisi wayang, karena untuk Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) belum ada kompetisi wayang,” ujarnya.
Wening juga berharap perjuangan Gabriel dapat menginspirasi teman-temannya, maupun masyarakat pada umumnya.
“Kami akan mendukung pengembangan seni budaya di Indonesia,” pungkasnya.
Tekad dan kecintaan Gabriel pada budaya dapat mengubah nasibnya.
Kini, apa yang diperjuangkan Gabriel dapat memberikan harapan baru bagi generasi penerus untuk melestarikan budaya bangsa. (*)