Kaesang Tak Diketahui Keberadaannya, TPDI Usul KPK Periksa Gibran Lebih Dulu
Koordinator Tim Pembela Demokrasi (TPDI) Petrus Selestinus SH menyarankan KPK memeriksa Gibran Rakabuming Raka terlebih dulu.
Editor: Hasanudin Aco
"Mengapa? Karena sesuai uraian peristiwa dan fakta-fakta sebagaimana laporan Boyamin Saiman tanggal 28 Agustus 2024, yang melampirkan MoU dan perjanjian kerja sama, dibuat Pemerintah Kota Surakarta dan perusahaan itu ditandatangani Gibran pada 23 April 2021 sebagai Walikota Surakarta kala itu, untuk mendirikan kantor dan pusat gaming di atas lahan milik Pemkot Surakarta," papar Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara.
Ada Surat Bukti MoU?
Menurut Petrus, karena ada MoU dan surat perjanjian kerja sama itulah maka dugaan terjadi peristiwa pidana korupsi berupa gratifikasi penggunaan Privat Jet Gulfstream G650ER oleh Kaesang dapat diurai benang merahnya lewat proses penyelidikan KPK secara "pro justitia".
"Melalui penyelidikan itulah hubungan antara salah satu petinggi perusahaan e-commerce terkemuka asal Singapura yang disebut-sebut telah memberikan fasilitas jet pribadi untuk Kaesang dan istrinya Erina dapat diurai melalui proses pertanggungjawaban pidana korupsi agar prinsip perlakuan setiap orang sama di hadapan hukum atau 'equality before the law' tercipta," urainya.
"Jika kita memperhatikan tempus (waktu) di mana MoU dan perjanjian kerja sama dibuat dan ditandatangani oleh Gibran yaitu 23 April 2021, hal itu berarti pada waktu itu Gibran baru dua bulan menjadi Walikota Surakarta (dilantik 26 Februari 2021). Artinya, baru menjabat walikota kurang dari dua bulan, tetapi Gibran sudah menandatangani MoU dan perjanjian kerja sama," lanjutnya.
Pertanyaannya, kata Petrus, apakah sebelum MoU dan perjanjian kerja sama ditandatangani telah didahului dengan sebuah studi kelayakan atau tidak.
"Lalu apakah ada persetujuan DPRD Kota Surakarta atau tidak, karena MoU ini berkategori kerja sama daerah; dan bagaimana pemenuhan hak dan kewajiban antara Pemkot Solo mengingat kerja sama kedua pihak dalam kerangka kerja sama daerah dengan pihak ketiga sesuai UU Pemerintah Daerah?" ujarnya.
Pemusatan Kekuasaan ala Orde Baru
Upaya Presiden Jokowi memusatkan semua kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada bidang ekskutif, legislatif maupun yudikatif, kata Petrus, telah dibangun sejak awal periode kedua jabatan Presiden.
"Ini sangat mirip dengan pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab yang dilakukan oleh Presiden Soeharto di era Orde Baru. Di era Reformasi ini, Jokowi ingin mengembalikan perilaku otoriter Orde Baru itu dengan melakukan pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab di tangannya, dengan mengabaikan peran kontrol sosial masyarakat," sesalnya.
Saban hari, lanjut Petrus, masyarakat menyampaikan kritik keras, kasar bahkan cenderung memfitnah, namun oleh Jokowi seolah-olah tidak didengarkan.
Akibatnya, kata dia, penyelenggara negara di eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan optimal selama periode kedua kekuasaan Jokowi, karena hanya mengikuti apa maunya Presiden.