Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

5 Pengakuan Saksi di Sidang Korupsi Timah: Peran Ordal hingga Keuntungan Setengah Miliar Per Bulan

Dalam sidang itu terungkap ada peran orang dalam PT Timah terhadap CV Salsabila Utama, perusahaan smelter.

Penulis: Dewi Agustina
zoom-in 5 Pengakuan Saksi di Sidang Korupsi Timah: Peran Ordal hingga Keuntungan Setengah Miliar Per Bulan
Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan
Sidang lanjutan kasus korupsi timah dengan terdakwa Robert Indarto selaku Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) dan Komisaris PT SIP, Suwito Gunawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (4/8/2024). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi tata niaga komoditas timah berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024).

Sidang kemarin menghadirkan 3 orang saksi yang berasal dari karyawan PT Timah.

Ketiga karyawan tersebut bersaksi untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Reza Pahlevi, Emil Emindra, dan MB Gunawan.

Dalam sidang itu terungkap ada peran orang dalam PT Timah terhadap perusahaan smelter CV Salsabila Utama.

Baca juga: Pengakuan Penambang Liar di Sidang Harvey Moeis, Untung Rp 500 Juta Per Bulan Dari Penjualan Timah

Orang dalam yang dimaksud adalah Direktur Keuangan PT Timah.

Terungkap pula keuntungan fantastis yang diterima para penambang liar yang menjual bijih timah kepada perusahaan smelter.

Berikut keterangan para saksi yang dirangkum Tribunnews berdasarkan persidangan Senin kemarin.

1. Peran Orang Dalam

Berita Rekomendasi

Saksi Budi Hatari, Kepala Bidang Perizinan dan Pelaporan (P2P) PT Timah mengatakan CV Salsabila Utama didukung orang dalam PT Timah.

Budi bersaksi untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Reza Pahlevi, Emil Emindra, dan MB Gunawan.

"Saksi tahu tidak CV Salsabila itu apa kaitannya dengan direksi PT Timah? Dulu saksi tidak tahu, sekarang tahu tidak?" tanya jaksa di persidangan.

Budi mengatakan CV Salsabila didukung orang dalam dari PT Timah.

"Tahu, informasi yang saya dapat bahwa CV Salsabila itu didukung oleh Direktur Keuangan (PT Timah)," jelas Budi.

Jaksa kemudian menanyakan soal dukungan, pertambangan ilegal, hingga IUP PT Timah hubungan antara CV Salsabila dengan orang dalam direksi PT Timah tersebut.

Baca juga: PT RBT yang Diwakili Harvey Moeis Raup Rp 1,1 Triliun Selama Tiga Tahun Kerja Sama Dengan PT Timah

Saksi Budi menjawab tak mengetahui hal-hal tersebut.

"Selain CV Salsabila itu apakah saksi mengetahui perusahaan lain yang terafiliasi direksi PT Timah," tanya jaksa kembali.

"Tidak tahu hanya satu," jawab Budi.

2. Perusahaan Smelter Ekspor Bijih Timah Sejak 2010

Budi Hatari juga mengaku perusahaan smelter telah melakukan penambangan ilegal di wilayah lzin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah di Bangka Belitung sejak 2010 silam.

Tak hanya menambang, bijih-bijih timah ilegal itu juga diekspor oleh perusahaan smelter.

"Pertama awalnya Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP), maka saya tanyakan di awal dari perkiraan yang digali atau dilakukan kegiatan pertambangan hasilnya hanya sebagian kecil yang disetorkan PT Timah. Berarti keluarnya yang tadi saudara katakan ilegal itu tadi yang ditampung kolektor-kolektor,” kata jaksa di persidangan.

"Kemudian bahwa mayoritas di sana Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Kalaupun ada yang bisa mengekspor bijih timah dalam skala besar itu logika nggak dari luar IUP PT Timah. Dari mana itu sumbernya ada perusahaan lain yang bisa melakukan ekspor yang tinggi," tanya jaksa.

Kemudian Budi menjawab kalau bicara secara luasan wilayah IUP, logika tersebut tidak masuk.

Baca juga: Kerugian Negara Rp300 T Kasus Korupsi Timah Dibebankan ke Para Terdakwa Disebut Tidak Adil

Jaksa lalu menanyakan sejak kapan saksi mengetahui lima smelter tersebut ada di Bangka Belitung.

"Data yang saya dapat tahunnya di tahun 2019, data yang saya lihat itu mulanya rata-rata dari 2010 ke atas," jawab Budi.

Jaksa lalu menanyakan perusahaan smelter yang telah beroperasi sejak 2010 tersebut bertugas untuk melebur bijih timah.

Tidak akan mampu bergerak, bekerja, beroperasi kalau tidak ada sumber bijih timah.

"Tapi dari tahun 2010 sebelum bekerjasama dengan PT Timah pun ini beroperasi terus. Saudara tahu tidak mereka ekspor segala macam," tanya jaksa.

Saksi Direktur CV Sumber Berkah Ramadhan Suwandi di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2024). Suwandi mengungkapkan kerja perusahaannya dalam mengelola pertambangan di Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah di Bangka Belitung.
Saksi Direktur CV Sumber Berkah Ramadhan Suwandi di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2024). Suwandi mengungkapkan kerja perusahaannya dalam mengelola pertambangan di Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah di Bangka Belitung. (Tribunnews.com/Rahmat W Nugraha)

"Iya (tahu beroperasi sejak 2010). Tahu Yang Mulia (diekspor) dari laporan departemen perdagangan,” jawab Budi.

“Berarti mereka (Perusahaan smelter) selama ini tetap beroperasi dan melakukan ekspor selama ini. Itu PT Timah tidak tanya bijih timahnya dari mana,” tanya jaksa kembali.

Kemudian diterangkan Budi secara evaluasi tahunan hal itu selalu menjadi isu, bahwa ekspor perusahaan smelter lebih tinggi dari PT Timah.

Sementara itu produksi PT Timah sendiri rendah.

Diketahui perusahaan smelter yang bekerjasama dengan PT Timah tercatat dalam perkara ini ada PT Refined Bangka Tin.

Kemudian CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.

3. RBT Raup Rp 1,1 Triliun

Manajer Keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT) Ayu Lestari Yusman mengungkap perusahaannya mampu meraup pendapatan sekitar Rp 1,1 triliun setelah bekerja sama dengan PT Timah Tbk pada periode 2018-2020.

Ayu hadir sebagai saksi dengan terdakwa Harvey Moeis, Suparta dan Reza Ardiansyah.

Ayu menjelaskan PT RBT juga memperoleh pendapatan dari sewa jasa penglogaman dan pemurnian yang dilakukan PT Timah.

Hal itu diungkap Ayu saat menjawab pertanyaan Hakim Ketua Eko Aryanto soal sumber pendapatan PT RBT.

"Pendapatan dari mana, ekspor saja atau ada lainnya?" tanya Hakim.

"Ada (pendapatan lain). Di tahun 2018 kami menerima pendapatan sewa jasa penglogaman dan pemurnian dari PT Timah," kata Ayu.

Kemudian Ayu pun merinci pendapatan perusahaan sejak bekerja sama dengan PT Timah untuk mengolah bijih timah di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Pada pada tahun 2018, PT RBT disebutnya memperoleh pendapatan dari hasil kerja sama sebesar Rp 69.346.709.9502 atau Rp 69,3 miliar.

Lalu pada tahun 2019 pendapatan PT RBT tercatat mengalami peningkatan pendapatan di angka Rp 736.570.868.473 atau Rp 736,4 Miliar.

"Tahun 2020?" tanya Hakim.

"Tahun 2020 kami menerima pendapatan sebesar Rp 315.584.116.009 (Rp315,5 miliar)," jawab Ayu.

"Jadi total sekitar Rp 1 (triliun)?" tanya Hakim.

"Total Rp 1,1 triliun Yang Mulia," ucap Ayu.

4. Untung Setengah Miliar Per Bulan

Liu Asak alias Acau, penambang liar di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Timah Tbk mengaku mampu mendapat keuntungan mencapai setengah miliar per bulan dari hasil kegiatan tambang ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Liu dalam sidang mengaku bahwa dirinya merupakan penambang liar atau ilegal.

"Kalau (profesi) saudara apa?" tanya Jaksa.

"Kalau saya termasuk penambang liar. Maksudnya ya kalau memang lokasinya di IUP PT Timah ya kita izin ke PT Timah," kata Liu Asak.

Jaksa lantas mengulik Liu soal penyaluran hasil penambangan ilegal yang sudah ia dapatkan dari wilayah IUP PT Timah.

Liu mengatakan, bijih timah yang telah ia dapatkan dari hasil penambangan ilegal itu dirinya juga baik ke PT Timah maupun ke perusahaan smelter swasta.

"Ada sebagian yang dijual selain ke PT Timah? Ke smelter swasta ada?" tanya Jaksa.

"Ada. (Kalau) Kita butuh duit, kita mau cepat, karena biayanya besar pak," ucap Liu Asak.

Lebih lanjut, Liu pun menjelaskan pendapatan yang ia terima dari hasil penjualan bijih timah ke dua perusahaan tambang itu bervariasi.

Kata dia, nominal itu berdasarkan kadar bijih timah yang dirinya dapat dari hasil penambangan ilegal tersebut.

Semakin tinggi kadar timah yang dihasilkan maka semakin tinggi pula bayaran yang ia dapat.

Hanya saja ia mengaku bahwa pihak smelter swasta bisa membayar lebih tinggi bijih timah yang ia hasilkan ketimbang dijual kepada PT Timah Tbk.

"Kalau kadar SN memang pendapatannya dari semua smelter punya harga pak. Cuma kalau kita menambang dari hasil yang kita dapat, kita cuci tambang itu tergantung dari hasil kandungannya bagus atau jelek," ucap Liu.

Adapun satu perusahan swasta yang melayani penjualan bijih timah dirinya adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), perusahaan yang diwakili oleh Harvey Moeis.

Liu menyebut saat itu dirinya pernah bertemu dengan kaki tangan dari PT RBT bernama Wendri.

"Saudara pernah dengan PT RBT?," tanya Jaksa.

"Pernah. Kaki tangan lah bahasanya, itu orang RBT. Kalau timah kita dijemput, kita kan gak ada urusan dia mau jual kemana," ucap Liu.

"Siapa namanya?," tanya Jaksa lagi.

"Wendri," ucapnya.

Liu menyebut meski saat itu Wendri tak menyebut secara rinci dari mana ia berasal.

Namun, dirinya menganggap bahwa Wendri merupakan perwakilan dari PT RBT.

Ia pun menyebut bahwa bijih timah yang ia jual ke PT RBT melalui Wendri menggunakan skema beli putus.

"Dia (Wendri) mengenalkan diri kerja di RBT?" tanya Jaksa.

"Dari bahasanya iya (Wendri orang PT RBT). Tapi itu bijih timahnya sudah diambil kita tidak tanya dibawa ke smelter mana. Soalnya bijih timah dijemput, dibayar, ya selesai," kata Liu Asak.

Kemudian Liu juga mengungkap bahwa selain PT RBT terdapat cukup banyak pembeli-pembeli liar yang hendak membeli bijih timah ilegal tersebut.

Hanya saja ia tak menjelaskan secara rinci mengenai siapa saja pembeli-pembeli liar yang hendak membeli bijih-bijih timah ilegal yang dihasilkan oleh pihaknya.

"(Jual) Ke Smelter lain?" tanya Jaksa.

"Wah itu enggak bisa kita pastiin pak. Soalnya pembeli liar itu banyak sekali pak," jawab Liu.

"Oh pembelinya banyak, harga bisa bersaing ketat ya?" tanya Jaksa memastikan.

"Iya," sahut Liu.

Setelah itu Jaksa mengulik nominal yang dihasilkan Liu Asak selaku penambang liar dari penjualan bijih timah yang dihasilkan.

Liu pun mengaku bahwa dirinya bisa menghasilkan ratusan kilogram dengan nominal Rp 15 juta per hari dari setiap melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.

Hanya saja kata dia, hal itu juga dipengaruhi daripada cuaca yang ada sekitar lokasi penambangan.

"Kalau cuacanya bagus bisa mendukung ya kita satu hari adalah dua kantong, sekitar seratus kilo," ungkap Liu Asak.

"Kalau rupiah?" tanya Jaksa.

"Kalau bahasa harganya 150 (Kg) ya 15 juta (Rp 15 juta)," ucap Liu Asak.

"150 kali 15 juta?" tanya Jaksa lagi.

"150 ribu per kilogram kali bisa 100 kilo," jelas Liu.

"150 juta?" tanya Jaksa.

"15 juta. Per hari," kata Liu.

Mendengar jawaban Liu, jaksa sempat kaget lantaran nominal yang dihasilkan dari penambangan ilegal itu terbilang cukup banyak.

Bahkan ketika dijumlahkan pendapatan Liu Asak dari hasil penambangan ilegal dalam kurun waktu satu bulan bisa mencapai setengah miliar rupiah.

"Banyak juga ya. Pendapat per bulannya berapa?" tanya Jaksa.

"Setengah miliar," jawab Liu.

5. Keuntungan Penambang Jual Bijih Timah ke Perusahaan Smelter

Sementara itu Liu Asak alias Acau, penambang liar di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Timah Tbk, mengaku kerap menjual bijih timah ilegal ke perusahaan smelter swasta ketimbang perusahaan milik negara tersebut.

Liu menyebut alasannya kerap menjual bijih timah ke smelter swasta lantaran agar ia bisa memperoleh pundi-pundi uang secara cepat untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya.

Sedangkan jika bijih-bijih timah tersebut dijual ke PT Timah maka dirinya harus melewati beberapa prosedur.

Hal itu diungkapkannya ketika hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moies Cs di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (9/9/2024).

"Soalnya kalau kita ngirim ke PT Timah mesti ada prosedur pak, harus ikut. Maksudnya gini kita harus lobi, keringin, tonasenya juga harus (disesuaikan). Kalau kita butuh uang, mau cepet, gaji operasional," ujarnya.

"Kita yang di lapangan kalau kita butuh cepet ya kita jual, soalnya pembeli banyak," sambungnya.

Salah satu smelter swasta yang menjadi tujuan penjualan bijih timah Liu yakni PT Refined Bangka Tin (RBT).

PT RBT sendiri diketahui merupakan perusahaan yang dibantu oleh terdakwa Harvey Moies untuk bekerjasama dengan PT Timah Tbk.

Acau pun mengaku pernah bertemu dengan kaki tangan dari PT RBT bernama Wendri.

Hanya saja saat itu Acau mengaku tak mempedulikan kemana lagi bijih timah itu dikirim Wendri setelah selesai melakukan jual beli.

"Kalau timah itu sudah dijemput kita gak ada urusan lagi timah itu mau dijual kemana," pungkasnya.

Duduk Perkara Kasus

Dalam kasus ini, terdakwa Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra melalui CV Salsabila didakwa setidak-tidaknya telah memperkaya diri hingga ratusan triliun rupiah.

Jaksa menyebut totalnya mencapai Rp 986.799.408.690,00 (sembilan ratus delapan puluh enam miliar tujuh ratus sembilan puluh sembilan juta empat ratus delapan ribu enam ratus sembilan puluh rupiah).

CV Salsabila Utama didirikan eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra, eks Dirut PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan Tetian Wahyudi.

Emil dan Reza Pahlevi sengaja mendirikan CV Salsabila bertujuan untuk membeli bijih timah dari para penambang ilegal perorangan yang tidak bisa mereka lakukan melalui PT Timah.

Kemudian PT Timah membeli kembali bijih timah yang sudah dibeli oleh CV Salsabila dari penambang ilegal itu dengan nominal Rp 986,8 miliar.

Saat ini, Direktur Utama CV Salsabila Utama, Tetian Wahyudi berstatus buron dalam kasus korupsi timah.

Tetian diduga melarikan diri usai penyidik kejaksaan tak mendapati yang bersangkutan di rumahnya saat hendak melakukan pemeriksaan.

Dalam kasus ini Emil Ermindra didakwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas