Kala Jokowi Janji Ingin Perkuat KPK, tapi Ditemui Pimpinan Lembaga Antirasuah Saja Sulit
Ketua KPK menyindir Jokowi karena sulit ditemui untuk membahas soal pemberantasan korupsi. Padahal, Jokowi kerap berjanji untuk memperkuat KPK.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango menyindir Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebutnya sulit ditemui untuk membahas segala masalah yang menerpa lembaga antirasuah.
Nawawi mengungkapkan selama lima tahun Jokowi menjabat sebagai Presiden RI jilid II, mantan Wali Kota Solo itu sulit ditemui.
"Lima tahun kami di sana (menjabat), tidak pernah sekalipun kami diundang untuk membicarakan KPK," ujar Nawawi dalam Media Gathering di Bogor, Kamis (12/9/2024) dikutip dari YouTube KPK.
Nawawi mengaku KPK sudah berulang kali berupaya untuk bisa bertemu dengan Jokowi.
Hanya saja, pertemuan antara Jokowi dan pimpinan KPK hanya terjadi sekali yakni pada saat merencanakan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang merupakan acara rutin tahunan dari KPK.
Selain itu, kata Nawawi, pertemuan juga hanya terjadi ketika Jokowi melantik Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak yang menggantikan Lili Pintauli Siregar karena melanggar etik.
Sementara, Nawawi menyebut pertemuan rutin Jokowi hanyalah dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
"Hanya satu momen di acara kami berharap bisa bicara dengan presiden tentang segala kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi," katanya.
"Usai pelantikan kami berharap kami dipanggil. Tidak (dipanggil). Yang dipanggil itu Dewan Pengawas saat itu," tuturnya.
Baca juga: KPK Temukan Dokumen Penting di Mobil Harun Masiku yang Terparkir di 2 Tahun Apartemen, Apa Isinya?
Dengan kondisi semacam itu, Nawawi menyebut dirinya pernah bercanda dengan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata.
Dia mengirimkan tautan berita yang berisi pertemuan Jokowi dengan organisasi masyarakat (ormas).
Nawawi pun mengatakan kepada Alex bahwa ternyata ormas lebih mudah bertemu dengan Jokowi alih-alih pimpinan KPK yang merupakan lembaga negara.
"Pak Alex, lebih mudah ormas ya ketemu Pak Presiden daripada pimpinan KPK," canda Nawawi kepada Alex.
Nawawi pun berharap agar pemerintahan selanjutnya bisa berkomitmen untuk pemberantasan korupsi seperti dengan membangun koordinasi dengan KPK.
“Kita pun juga berharap bahwa mereka (pemerintah yang baru, red) komit dengan apa yang mereka tampilkan ketika kita melaksanakan kegiatan Paku Integritas,” sebut Nawawi.
Janji Jokowi Perkuat KPK, tapi Justru Dinilai Pelemahan
Jokowi pernah berjanji saat mencalonkan diri sebagai presiden di Pilpres 2014 yaitu soal antikorupsi.
Adapun janji antikorupsi itu tertuang dalam agenda prioritas dalam Nawacita pada poin keempat yang berbunyi:
"Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya," demikian tertulis dalam Nawacita, dikutip dari Kompas.com.
Tak cuma itu, janji antikorupsi juga tertuang dalam visi-misi Jokowi saat kembali mencalonkan diri sebagai presiden di Pilpres 2019 bersama dengan Ma'ruf Amin.
Adapun bunyinya yaitu:
"Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya," demikian tertulis dalam visi-misi Jokowi-Ma'ruf Amin.
Namun, janji Jokowi itu dinilai seakan luntur oleh berbagai pihak karena menyetujui revisi UU KPK.
Beberapa poin revisi UU KPK yang disetujui Jokowi dan berujung dikritik adalah soal adanya Dewas dan kewenangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Baca juga: ICW Kritik Pansel Capim KPK yang Loloskan Johanis Tanak dan Pahala Nainggolan
Selain itu, Jokowi juga dikritik setelah menyetujui poin terkait penolakan melakukan penyadapan oleh penyidik KPK harus seizin pihak eksternal.
Dia mengungkapkan penyidikan hanya perlu lewat Dewas KPK.
Padahal, draf revisi UU KPK sebelum diketok oleh DPR memang tidak mengatur penyadapan harus seizin pihak eksternal.
Kemudian, Jokowi pun akhirnya menyetujui revisi UU KPK dan berujung kritik tajam dari berbagai pihak.
Contohnya dari Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti yang mengaku kecewa kepada Jokowi karena setuju adanya revisi UU KPK.
Dia menganggap Jokowi tak berdaya menghadapi kepentingan partai politik di DPR.
"Cepatnya Presiden merespons surat dari DPR yang meloloskan dua RUU yaitu RUU MD3 dan RUU KPK, juga menunjukkan mulai tidak berdayanya Jokowi di hadapan parpol," ujarnya pada 13 September 2019 lalu.
Kritik serupa juga disampaikan oleh peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz yang menyebut Jokowi lebih mendengarkan parpol dibanding suara rakyat buntut menyetujui revisi UU KPK lewat terbitnya Surat Presiden (Surpres).
"Ditandatanganinya Surpres tersebut akan menjadi sejarah terburuk dalam kepemimpinan Jokowi."
"Beliau lebih mendengarkan kemauan partai dibandingkan suara masyarakat dan para tokoh yang ingin KPK kuat dan independen," ujar Donal pada 11 September 2019 lalu, dikutip dari Kompas.com.
Bahkan, pimpinan KPK saat itu yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang turut kecewa dengan revisi UU KPK tersebut.
Mereka menganggap lembaga antirasuah sudah dikepung dari berbagai penjuru.
"Pertama, kita sangat prihatin kondisi pemberantasan korupsi semakin mencemaskan. Kemudian KPK, rasanya seperti dikepung dari berbagai macam sisi," ujar Agus Rahardjo yang menjabat Ketua KPK saat itu dalam konferensi pers pada 13 September 2019.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Ilham Rian Pratama)(Kompas.com/Ardito Ramadhan)