DPR Desak Kemenkes Tinjau Ulang PP 28/2024 dan RPMK soal Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk meninjau kembali Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Bagian utama pengaturan dalam RPMK tersebut memuat usulan Kemenkes untuk menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek.
Desakan kepada Kemenkes ini diambil setelah adanya kekhawatiran serius tentang dampak negatif dari aturan-aturan tersebut terhadap industri strategis dan perekonomian nasional.
Dalam diskusi media bertajuk “Menilik Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau” di Gedung DPR RI Senayan Jakarta (18/9/2024).
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Nasdem, Nurhadi mengatakan bahwa banyak aturan pada PP 28/2024 maupun RPMK yang berada di luar lingkup kewenangan Kemenkes dan telah memicu pro kontra di kalangan masyarakat serta menimbulkan polemik.
Menurutnya, kedua aturan tersebut berisiko menimbulkan kegaduhan menyusul berbagai ancaman, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) pada jutaan pekerja yang bergantung pada industri hasil tembakau dan ekosistem di dalamnya.
Selain itu, pedagang kecil, peritel, serta industri kreatif dan periklanan akan turut terdampak dari kebijakan inisiatif Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tersebut.
Senada, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Golkar, Yahya Zaini pun memberikan kritik terhadap proses penyusunan aturan.
Menurutnya, proses penyusunan PP 28/2024 dan RPMK terkesan terburu-buru dan tidak melibatkan partisipasi publik yang berarti.
“Hal ini mengakibatkan pengabaian kepentingan masyarakat dan pihak-pihak yang terdampak, serta menimbulkan berbagai persoalan dalam penerapannya,” tuturnya.
Dia menegaskan bahwa perlakuan pemerintah terhadap industri hasil tembakau cenderung diskriminatif dan tidak pernah berbanding lurus dengan kontribusinya terhadap negara.
“Tiap tahun cukai rokok dinaikkan, sementara kita tahu kontribusinya untuk negara mencapai Rp213 triliun, jauh di atas penerimaan negara dari BUMN,” papar dia.
Tak pelak, dia pun mengkritik bahwa Kemenkes tidak melakukan konsultasi yang memadai dengan DPR, serta tidak melibatkan berbagai pihak terkait dalam proses penyusunan, yang dianggap penting untuk mendapatkan masukan yang konstruktif.
“Kami tidak dilibatkan dalam pembuatan aturan ini. Walaupun memang wewenangnya ada di pemerintah, tapi saya berharap Komisi IX DPR RI bisa dilibatkan,” tegas dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.