Tes Wawancara Capim KPK, Pahala Nainggolan Dicecar Soal Kehancuran KPK hingga Jet Pribadi Kaesang
Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan dicecar dalam tes wawancara calon pimpinan KPK.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan dicecar pertanyaan soal kehancuran KPK dalam tes wawancara calon pimpinan KPK.
Hal itu diutarakan saat Pahala menjalani tes wawancara seleksi calon pimpinan (capim) KPK.
Pahala menjadi salah satu dari 20 capim KPK yang mengikuti tes wawancara oleh panitia seleksi (Pansel).
Adalah Taufiequrrachman Ruki, eks Ketua KPK, yang menjadi salah satu panelis.
Ruki adalah Ketua KPK pertama. Dia bertanya awalnya soal jabatan Pahala di KPK. Pahala pun mengayakan sudah sembilan tahun berada di KPK, telatnya di Deputi Pencegahan
"Apa kontribusi anda terhadap kehancuran KPK?" tanya Ruki di Kantor Kemensesneg, Jakarta, Rabu (18/9/2024).
Namun, Ruki tidak menjelaskan konteks dari pernyataan kehancuran tersebut.
Pahala lalu melanjutkan penjelasannya.
"Yang saya pikir begitu dan itu yang bikin saya maju. Sebenarnya saya bisa bikin KPK lebih baik lagi harusnya tapi saya pikir dari manajemen organisasi dari budaya organisasi," kata Pahala.
Pahala mengatakan selama ini sudah berada di KPK bahkan ketika era pimpinan Ruki hingga Agus Rahardjo.
"Makanya saya bilang kalau boleh saya dikasih kesempatan, saya pikir kontribusi saya dulu ya kalau dibilang minimum, karena di level yang bukan di level bisa membelokkan. Kenapa saya bilang saya coba? Saya tahu rasanya saya 'bertanggung jawab' juga secara moral bahwa KPK jadi begini," kata Pahala.
Diminta tanggapan polemik jet pribadi Kaesang
Dalam kesempatan itu, juga ditanya terkait polemik jet pribadi Kaesang akan diputuskan Pimpinan KPK.
Dirinya berdalih bahwa jabatannya saat ini bukan merupakan Pimpinan KPK.
"Yang untuk jet pribadi, saya mohon maaf pak, bahwa ini di ranah internal KPK diputus pimpinan pak. Jadi jangan ditanya pendapat saya apa pak," kata Pahala.
Pahala mengaku sempat memperdebatkan penggunaan jet pribadi Kaesang saat rapat pimpinan.
Pahala menegaskan, dirinya tidak bisa menjelaskan lebih jauh polemik jet pribadi Kaesang dalam seleksi capim KPK.
"Yang pertama Minggu lalu di Rapim kita ya berdebat soal itu. Tapi saya sekali lagi minta maaf, di forum ini saya nggak bisa bilang pendapat saya apa, karena itu di internal saja, dan itu akan ada putusan pimpinan seperti apa," ucap Pahala.
Pahala mengungkapkan, awalnya memang bidang pencegahan KPK akan memanggil Kaesang.
Namun, KPK menerima aduan terkait dugaan penerimaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang.
"Tapi lagi awal kan dibilang ini akan dipanggil oleh pencegahan, tapi berikutnya kita bilang bahwa karena ada aduan, diproses aduan," kata Pahala.
Disindir Kepala PPATK soal kasus pemerasan PPDS
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana yang merupakan Anggota Pansel Capim KPK bertanya kepada Pahala Nainggolan soal laporan transaksi keuangan yang masuk ke KPK.
Salah satu laporan yang terlewat ialah dugaan pemerasan yang terjadi di Program Penindakan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip).
Awalnya, Ivan mengapresiasi langkah saling lapor yang diucapkan Pahala.
"Tapi faktanya laporan PPATK saja dicuekin banyak. Bapak paham kasus-kasus yang bubbling belakangan ini begitu kita cek laporannya sudah banyak di KPK," kata Ivan di Kemensesneg, Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2024).
Ivan kemudian menyinggung kasus pemerasan yang menimpa mahasiswa PPDS Undip.
Menurut Ivan, kasus itu telah dilaporkan ke KPK.
"Lalu PPDS itu yang terjadi di Undip itu kami sudah lapor di tahun 2022, di kampus lain, sistemik. Menunggu bunuh diri dulu baru kita bereaksi gitu?" kata Ivan.
Pahala kemudian menjawab pertanyaan dari Ivan.
Dia mengatakan pihaknya selalu mengandalkan laporan PPATK sebagai salah satu pintu masuk dalam melakukan penelaahan dugaan korupsi.
"Saya ingat yang Alun, yang Andhi Pramono, Eko, itu datang dari PPATK dan sangat detail sehingga lebih gampang mendorongnya," terang Pahala.
Pahala tidak menjawab pertanyaan panelis soal laporan kasus pemerasan mahasiswa PPDS Undip yang telah diterima KPK.
"Jadi saya mesti mengakui, Pak, bukan periode ini saja, periode sebelumnya pun laporan PPATK selalu beredar kemana-mana. Udah sempat disebut satgasnya dan saya janji, Pak, kalau saya terpilih, laporan PPATK saya akan prioritaskan karena saya bilang itu setengah jadi," pungkas Pahala.
Sebelumnya, Dekan Fakuktas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK UNDIP) YanIa membenarkan korban menyetorkan uang sebanyak puluhan juta rupiah tersebut.
Yan Wisnu menjelaskan, setiap mahasiswa PPDS Undip membayar iuran berkisar Rp 20 juta - Rp 40 juta.
Uang disetorkan setiap bulannya sejak semester 1.
Iuran dibayarkan selama 6 bulan pertama saat menempuh pendidikan PPDS.
Uang tersebut digunakan untuk berbagai keperluan.
"Uang digunakan untuk nyanyi, main sepakbola, bulutangkis, sewa mobil, sewa kos dan makan."
"Kebutuhan paling besar untuk biaya makan sampai dua pertiganya," kata Yan Wisnu.
Di Awal menjabat sebagai Dekan, Yan Wisnu sudah mengetahui iuran tersebut.
Oleh karenanya, dirinya sempat mengeluarkan surat edaran untuk membatasi besaran uang yang disetor.
Bahkan Yan Wisnu sempat bertemu dengan senior-senior dr Aulia Risma untuk membahas masalah ini.
Baca juga: Ketua Angkatan dan Bendahara PPDS Anestesi Undip Diperiksa, Total 34 Saksi Dimintai Keterangan
"Saya sudah berbicara dengan mereka yang meyakini secara rasional kenapa harus iuran."
"Namun, apapun alasan pembenaran mereka, publik akan menilai pungutan itu tidak tepat," tegasnya. (Tribunnews/RezaDeni)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.