Dugaan Pemotongan Honor Hakim Agung Menyeruak, MA Diminta Tidak Hanya Klarifikasi
MA diminta melakukan perbaikan menyeluruh dan bukan hanya melakukan klarifikasi. Karena ini pertaruhan marwah kelembagaan.
Penulis: Malvyandie Haryadi
"(PP) mendasari hakim agung berhak atas honorarium dalam penanganan perkara kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) paling lama 90 hari kalender sejak perkara diterima oleh unit penerima surat pada Ketua Majelis sampai perkara dikirim ke pengadilan pengaju, sebagaimana yang tercantum dalam Nota Dinas Panitera," kata Sugeng kepada Tribunnews.com, Rabu (11/9/2024).
Namun, kata Sugeng, justru ada pemotongan honor penanganan perkara terhadap hakim agung yang diduga terjadi pada rentang tahun 2022-2024.
Sugeng mengungkapkan pada tahun 2022, pembayaran honor penanganan perkara terhadap para hakim agung dilakukan dengan cara penyerahan uang tunai dan disertai tanda terima dalam dua bentuk yakni bukti tanda terima hakim menerima seluruh honor dan bukti tanda terima honor telah dipotong.
Kemudian, Sugeng menjelaskan tata cara penyerahan honor penanganan perkara hakim agung di mana diawali dari kepaniteraan Mahkamah Agung (MA), Asep Nursobah sebagai penanggungjawab Honorarium Penanganan Perkara (HPP) hakim agung.
Asep, kata Sugeng, menyiapkan laporan majelis yang menyelesaikan perkara dalam waktu 90 hari.
Selanjutnya, Sugeng mengungkapkan Asep mengajukan permintaan pembayaran ke Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai bank yang mengirimkan honor ke masing-masing hakim agung.
Namun, pada hari yang sama, BSI diduga otomatis memotong honor penanganan perkara hingga 26,95 persen dari rekening hakim agung.
Sugeng menduga pemotongan honor ini diketahui oleh para pimpinan MA.
"Potongan yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari hakim agung, dan dikumpulkan di rekening penampungan yang diduga dikelola oleh saudara AN."
"Sehingga patut diduga adanya potongan sebesar 26,95 persen adalah perbuatan korupsi yang terjadi atas sepengetahuan pimpinan Mahkamah Agung dan merugikan para hakim agung yang berhak," tuturnya.
Sugeng juga mengatakan adanya penolakan dari hakim agung terkait pemotongan honor penanganan perkara itu.
Namun, sambungnya, diduga ada intervensi dari pimpinan MA agar para hakim agung menandatangani surat pernyataan di atas materai agar bersedia honor penanganan perkara dipotong.
Sugeng mengungkapkan, jika hal tersebut benar terjadi, maka apa yang dilakukan pimpinan MA telah melanggar peraturan perundang-undangan.
"HPP yang menjadi hak hakim agung diberikan atas dasar Pasal 13 ayat (1) huruf a, juncto Pasal 13 B ayat (1) juncto Pasal 13 C ayat (1) PP Nomor 82 tahun 2021 di mana tidak terdapat aturan pemberian kewenangan pada Sekretaris maupun pimpinan MA untuk melakukan pemotongan," ujarnya.