Kemenkes Akui Tak Akomodir Semua Saran soal Kebijakan Produk Tembakau, Anggota DPR: Jangan Egois
Saleh Daulay menyoroti sikap Kemenkes yang seakan enggan menampung saran untuk regulasi produk tembakau dalam Permenkes.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Febri Prasetyo
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI Fraksi PAN, Saleh Daulay, menyoroti sikap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang seakan enggan menampung saran untuk regulasi produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Saleh menegaskan setiap kebijakan yang dibuat sudah seharusnya menimbang semua masukan stakeholder terkait, termasuk asosiasi industri dan para pihak yang terdampak.
“Karena itu, kalau mau membuat peraturan libatkan semua pihak. Kami minta jangan egois,” kata Saleh Daulay, Selasa (1/10/2024).
Ia mengungkap, dalam pembuatan detail regulasi, Kemenkes lebih memilih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) ketimbang UU. Padahal jika dasarnya adalah UU, DPR dapat mengajak semua pihak terdampak untuk terlibat dalam penyusunan regulasi. Beda halnya dengan PP yang penyusunannya tidak melibatkan parlemen.
Imbasnya, kata dia, PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes menjadi sumber sengketa saat ini. Padahal seyogianya, legislator tidak ingin mengabaikan aspek kesehatan, tetapi juga tidak ingin mengabaikan aspek ekonomi.
Selain itu, ia menggarisbawahi bahwa Kemenkes bukanlah satu-satunya kementerian yang terlibat dalam pengaturan tembakau.
Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus dilibatkan dalam proses penyusunan regulasi tersebut.
“Saya menanyakan apakah semua stakeholder sudah dilibatkan dalam penyusunan aturan ini? Jika tidak, akan ada masalah dan pihak-pihak tertentu akan merasa ditinggalkan,” katanya.
Sementara itu, Kabiro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi, mengakui bahwa tak semua masukan atau saran dari berbagai pihak perihal regulasi produk tembakau, termasuk kebijakan kemasan polos tanpa merek, dapat ditampung.
“Kita bisa berbeda pendapat, tapi bukan berarti seluruh masukan harus diterima kan?” kata Nadia.
Baca juga: Cukai Rokok Tak Naik Tahun 2025, Pemerintah Diimbau Tak Buat Lonjakan Tarif Tahun Berikutnya
Nadia menjelaskan penggunaan nama dan logo dalam kemasan rokok masih diperbolehkan, termasuk kewajiban untuk menyematkan peringatan dan informasi kesehatan. Sedangkan branding tidak diperkenankan.
“Nama dan logo produk masih bisa. Tapi memang peringatan, informasi, gambar mengenai dampak dari merokok memang ada. Branding-nya nggak boleh. Untuk warna kita standardisasi, termasuk rokok elektronik,” kata dia.
Pernyataan Nadia ini berbeda dengan draf Rancangan Permenkes yang diunggah di situs resmi Kemenkes. Pada bagian Pencantuman Informasi pada Kemasan di Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa merek produk diletakkan di bawah peringatan kesehatan pada sisi depan atau belakang kemasan menggunakan huruf kapital Arial Bold.
Sementara pada pasal 5 ayat (1) poin g disebutkan bahwa kemasan produk tembakau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini.
Nadia juga menyatakan tidak ada standardisasi terkait nama atau penulisan merek rokok.
“Kalau nama merek rokok itu tidak kita lakukan standardisasi. Bahasa Indonesia hanya untuk peringatan, lalu informasi. Untuk nama merek sesuai dengan mereknya,” papar dia.
Namun pernyataan ini berbanding terbalik dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) poin e yang menjelaskan, bahwa penulisan merek dan varian produk tembakau menggunakan Bahasa Indonesia. Sedangkan pada poin f dinyatakan penulisan identitas produsen menggunakan Bahasa Indonesia dengan font Arial.
Adapun Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi mengingatkan kepada pemerintah agar mendengar kritik dari kalangan masyarakat. Apalagi, kritik ini semakin mengemuka karena sebelum PP tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), tidak ada koordinasi yang baik dengan beberapa kementerian terkait.
“Kemenperin saja belum diajak bicara mengenai kebijakan ini. Ini menunjukkan kurangnya kolaborasi antara kementerian yang seharusnya terlibat dalam pembuatan kebijakan yang kompleks ini,” kata Benny.
Benny mengatakan, meski mereka sepakat dengan tujuan meningkatkan kesehatan masyarakat, namun pendekatan yang diambil oleh Kemenkes tidak bisa hanya melibatkan aspek kesehatan atau industri saja. Benny pun menyarankan proses penyusunan Rancangan Permenkes disetop hingga ada pejabat menteri yang baru.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.