Keterlibatan Militer dalam PSN di Merauke Dikhawatirkan Ancam Hak Hidup Orang Papua
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membentuk lima batalyon penyangga daerah rawan (PDR) untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah.
Editor: Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membentuk lima batalyon penyangga daerah rawan (PDR) untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah.
Pasukan yang tergabung dalam Yonif PDR itu akan bertugas di wilayah-wilayah rawan, seperti Papua.
Lima wilayah itu sedang terancam dan terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Pangan dan Energi di Kabupaten Merauke, melalui proyek cetak sawah baru, perkebunan tebu dan pabrik bioetanol, yang akan menggunakan dan sedang menggusur tanah adat, dusun dan hutan adat seluas lebih dari 2 juta hektar.
PSN Merauke dilakukan melibatkan Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Investasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional, pemerintah daerah serta perusahaan swasta, Jhonlin Group, First Resources Group, KPN Corp. Group.
Namun demikian, kebijakan Panglima TNI membentuk PDR Papua itu justru menimbulkan kekhawatiran masyarakat adat Malind, Maklew, Mayo Bodol, Khaimima dan Yei di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
“Masyarakat adat Maklew di Distrik Ilwayab, Tubang dan Okaba, secara terbuka di hadapan penjabat Gubernur Papua Selatan telah menyatakan menolak proyek cetak sawah baru dan tanaman lain, yang menggusur tanah, dusun dan hutan adat, sumber kehidupan masyarakat adat tanpa ada musyawarah dan persetujuan secara bebas dari masyarakat adat dan pemilik tanah. Namun perusahaan yang dikawal aparat militer bersenjata secara sewenang-wenang menggusur dan merampas tanah adat,” jelas Simon Balagaize, Koordinator Forum Masyarakat Adat Malind Anim Kondo - Digoel dalam keterangannya, Jumat (4/10/2024).
Baca juga: Said Didu Dilaporkan setelah Kritik PSN PIK Tangerang, Kuasa Hukum Minta Proses Hukum Disetop
Simon menilai pemerintah dan operator proyek PSN Merauke telah melanggar hak dasar masyarakat adat, hak hidup, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Proyek ini bukan proyek kemanusiaan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak, melainkan bagian dari proyek pembesaran dan perluasan bisnis meraup keuntungan modal bagi kepentingan penguasa dan pengusaha pemilik modal, yang dilakukan dengan cara-cara tidak manusiawi dan merusak lingkungan hidup,” ungkap Simon Balagaize.
Di lapangan Proyek PSN Merauke, aparat militer bersenjata terlibat memfasilitasi, memperlancar dan mengamankan aktivitas perusahaan, sehingga membuat kekhawatiran dan menciptakan rasa tidak aman bagi masyarakat adat.
“Keterlibatan militer dalam proyek food estate PSN Merauke berpotensi mengancam dan menghilangkan hak hidup Orang Asli Papua, akan memperluas terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia, kekerasan dan kesewenang-wenangan, yang melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, serta kebijakan internasional berhubungan dengan prinsip dan tujuan pembangunan berkelanjutan,” jelas J. Teddy Wakum, Juru Bicara #Solidaritas Merauke.
Pelibatan militer dalam proyek PSN Merauke tidak tepat dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, bertentangan dengan tujuan dan prinsip tentara professional, yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia.
Karenanya, #Solidaritas Merauke dan Forum Masyarakat Adat Malind Kondo - Digoel meminta Panglima TNI membatalkan pembentukan batalyon baru di Tanah Papua, mengevaluasi dan menghentikan pendekatan keamanan dan keterlibatan militer dalam proyek komersial atas nama PSN Merauke.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.