Akademisi UGM Nilai Ada Presumption of Corruption dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Keterangan ahli lain juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap prinsip hukum yang berlaku, seperti asas praduga tidak bersalah.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia kembali menjadi sorotan publik menyusul putusan terpidana kasus dugaan korupsi mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming.
Para ahli hukum menilai bahwa putusan tersebut mencerminkan adanya kecenderungan presumption of corruption atau asas praduga korupsi yang berlebihan dalam sistem peradilan Indonesia.
Mardani Maming divonis bersalah dan dihukum 12 tahun penjara di pengadilan tinggi, atas dugaan suap terkait izin usaha pertambangan. Namun, sejumlah pakar hukum meragukan dasar hukum dari putusan tersebut.
Beberapa guru besar hukum dan akademisi hukum mulai dari kampus ternama seperti, Universitas Padjadjaran serta universitas Islam Indonesia sudah menyatakan ada kekeliruan dalam putusan tersebut.
Dukungan terkait kasus ini juga datang dari Akademisi Departemen Hukum Administrasi Negara dan Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Hendry Julian Noor, dan Tim Hukum UGM berpendapat bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) tak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi.
Baca juga: Zarof Ricar Simpan Rp 920 Miliar di Rumahnya, Berapa Jumlah Harta Keseluruhan Sang Makelar Kasus?
Salah satu poin penting yang dikritisinya adalah penerapan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Ia berpendapat, tindakan Maming masih berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala daerah dan tidak melanggar prosedur yang berlaku.
"Putusan ini mengkhawatirkan karena mengaburkan batas antara tindakan yang bersifat administratif dengan tindak pidana korupsi," kata dia dalam keterangannya, Sabtu (26/10/2024).
"Terdapat kecenderungan untuk menjerat setiap pejabat publik dengan tuduhan korupsi, tanpa memperhatikan secara cermat unsur-unsur pidananya," sambungnya.
Keterangan ahli lain juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap prinsip hukum yang berlaku, seperti asas praduga tidak bersalah.
"Dalam kasus ini, tampaknya berlaku prinsip praduga bersalah. Beban pembuktian seolah-olah dibalik, di mana terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah," kata Karina Dwi Nugrahati Putri.
Baca juga: KPK Minim OTT dan Fokus Case Building Karena Ingin Kembalikan Kerugian Negara Lebih Besar, Benarkah?
Kondisi ini, menurut para ahli, merupakan dampak negatif dari upaya pemerintah memberantas korupsi secara agresif tanpa didukung oleh sistem pengawasan yang memadai.
"Kebijakan politik yang terlalu fokus pada penindakan tanpa memperhatikan aspek hukum dan keadilan dapat berujung pada kesalahan penuntutan," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.