Audit BPK Soal Impor Gula: Stok Gula Nasional dan Kuota Impor Tak Sama, Swasta dan Koperasi Terlibat
Anehnya, Kementerian Perdagangan justru menetapkan kuota impor untuk komoditas tersebut sebanyak 1,36 juta ton
Editor: willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjadi tersangka kasus dugaan korupsi terkait kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015–2016.
Baca juga: Duduk Perkara Kasus Impor Gula yang Membuat Tom Lembong Jadi Tersangka Korupsi
"Setelah melakukan penyidikan dan menemukan bukti yang cukup, kami menetapkan TTL, Menteri Perdagangan periode 2015-2016 menjadi tersangka," ucap Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa, (29/10).
Untuk diketahui, Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan Indonesia dari 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016. Dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di periode pertama Presiden Joko Widodo.
Adapun dalam kasus ini, Kejagung menduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang di Kemendag yang dilakukan dalam rangka pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula nasional.
Baca juga: Penampakan Terowongan Canggih Hizbullah, Panglima Israel: PBB Lihat Ini, Ada Dapur hingga Shower
Sebagai catatan, Kemendag diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP) kepada pihak-pihak yang tidak berwenang.
Selain itu Kemendag juga diduga telah memberikan izin impor yang melebihi batas kuota maksimal yang dibutuhkan oleh pemerintah. Kebijakan impor gula tersebut sempat dikritik oleh DPR pada Februari 2015 lalu.
Sebab ada ketidaksesuaian data antara stok gula nasional dan kuota impor. Pada tahun 2016 misalnya kebutuhan nasional gula kristal putih adalah 3,05 juta ton. Sementara produksi nasional hanya mampu memenuhi 2,57 juta ton.
Baca juga: Alasan Camat Baito yang Kawal Kasus Supriyani Tiba-tiba Dicopot: Tak Lapor Perkembangan & Tak Netral
Artinya ada selisih 477 ribu ton yang mesti dipenuhi lewat impor. Anehnya, Kementerian Perdagangan justru menetapkan kuota impor untuk komoditas tersebut sebanyak 1,36 juta ton atau 285 persen.
Berdasarkan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berjudul “Audit Tata Niaga Impor 2015 hingga 2017”, alokasi impor tidak sesuai dengan data kebutuhan. Sementara realisasi juga seringkali melampaui kebutuhan. Alasan BPK ini persis seperti kasus yang sedang disidik Kejagung.
Padahal, sesuai Permendag Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula, Pasal 3 menyatakan, bahwa jumlah gula yang diimpor harus sesuai dengan kebutuhan gula dalam negeri yang ditentukan dan disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian.
Pihak-pihak swasta juga perlu ditelusuri lebih jauh lagi oleh Kejaksaan Agung(Kejagung). Karena dalam audit BPK ada beberapa perusahaan swasta yang mendapatkan kuota impor gula pada tahun 2015 seperti PT AP mendapatkan 105 ribu ton.
Baca juga: JPPR: Kampanye Pilkada 2024 Harus Mendidik, Hindari SARA dan Diskriminasi
Kemudian ada BMM, DUS, AF, AP, PG Gorontalo yang pada tahun 2016 dengan total kuota impor 1.363.659 ton. Tahun 2017 PT AP dan PT AG juga mendapatkan kuota impor dengan total impor 1.011.625 ton.
Masih menurut audit BPK, bahwa tiap-tiap pabrik gula rafinasi dan pabrik gula tersebut tidak secara langsung memperoleh penugasan dari menteri perdagangan melainkan permintaan pihak koperasi.