MK Kabulkan Gugatan Buruh, Said Iqbal: Omnibus Law Masa Lalu Selamat Tinggal Klaster Ketenagakerjaan
Said Iqbal sebut Omnibus Law sudah masa lalu, selamat tinggal klaster ketenagakerjaan, ingatkan DPR jangan mengulang kembali seperti UU Pilkada.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Partai Buruh Said Iqbal merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Diketahui dalam amar putusan perkara nomor 168/PUU/XXI/2024 yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, setidaknya terdapat 25 poin amar putusan. Diantaranya soal upah hingga izin pekerja asing di Indonesia.
Atas hal itu ia meminta pemerintah dan DPR taat pada konstitusi.
“Kami meminta dengan segala hormat. Kami yang mencintai bapak Presiden Prabowo. Kami yang mendukung bapak Presiden Prabowo tunduklah dan taatlah pada konstitusi. Kami percaya beliau kesatria, jangan ditafsirkan lain apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Said Iqbal kepada wartawan di Jakarta, Kamis (31/10/2024) petang.
Ia menerangkan ada 21 norma hukum di Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan sudah dinyatakan inkonstitusional tidak berlaku lagi. Walaupun ada sebagian yang inkonstitusional bersyarat.
“Kami yakin bapak Presiden Prabowo berjiwa ksatria berjiwa cinta pada negara melalui taat pada konstitusi. Istana tidak jauh dari sini, saya yakin beliau sudah mendengar,” kata Said Iqbal.
“Mudah-mudahan tidak ada penjilat-penjilat yang kemudian menafsirkan lain keputusan MK. Keputusan MK berlaku sama dengan undang-undang. Dan berlaku saat setelah dibacakan, saat itu juga berlaku,” lanjutnya.
Baca juga: Said Iqbal Minta Presiden Prabowo Segera Terbitkan Perppu Setelah Gugatan Buruh Dikabulkan MK
Omnibus Law, sudah masa lalu, selamat tinggal klaster ketenagakerjaan, sudah inkonstitusional, kata Said Iqbal.
“Bahkan MK menyatakan paling lambat 2 tahun harus dibentuk undang-undang baru tentang ketenagakerjaan. Ini kemenangan rakyat,” tegasnya.
Kemudian ia mengingatkan DPR dan pimpinan DPR jangan mengulang kembali seperti undang-undang pilkada.
“Dia (DPR) mau nafsirin keputusan MK. Nggak boleh, keputusan MK itu setara dengan undang-undang. Tidak ada kekosongan hukum dengan demikian yang berlaku sekarang adalah keputusan MK,” tegasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.