Jangan Dianggap Persaingan Usaha, Pakar Kesehatan: Bahaya BPA Masalah Kesehatan Serius
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar IDI dengan tegas menolak anggapan bahwa peringatan BPA hanyalah isu persaingan bisnis.
Penulis: Muhammad Fitrah Habibullah
Editor: Anniza Kemala
TRIBUNNEWS.COM – Para pakar kesehatan serta berbagai hasil riset internasional telah lama menyatakan bahwa paparan jangka panjang Bisphenol A (BPA) dapat berdampak serius terhadap kesehatan. Oleh karena itu, segala upaya untuk membelokkan isu kesehatan BPA menjadi sekadar isu persaingan bisnis semestinya dihentikan.
Serupa, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan spesialis obstetri dan ginekologi, dr Ulul Albab, SpOG. dengan tegas menolak anggapan bahwa peringatan BPA hanyalah isu persaingan bisnis.
“Kita tidak bisa membelokkan bahwa ini adalah persaingan usaha atau tidak. Karena concern kita, baik Ikatan Dokter Indonesia (IDI), apalagi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai lembaga negara, akademisi, maupun praktisi, bahwa concern terkait bagaimana kita melindungi masyarakat Indonesia menjadi yang utama dari semua semua alasan yang lain,” kata dr Ulul dalam sebuah talkshow di Jakarta (30/10).
“Ketika kita mengatakan BPA bermasalah, memang itulah faktanya. Semua negara, bukan hanya Indonesia menyampaikan hal itu,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan akan kasus Covid di masa lalu yang juga banyak dipolitisasi.
“Dulu ketika Covid dan banyak yang meninggal, maka isu Covid dibelokkan menjadi isu yang macam-macam. Pemahaman baru yang dianggap mengganggu kestabilan, biasanya memang akan berhadapan dengan upaya-upaya pembelokan seperti itu,” ungkapnya.
Baca juga: Bukan Sekadar Tren, Masyarakat Perlu Mengetahui Fakta Terkait BPA dan Bahayanya
IDI Dukung Langkah BPOM
Dr. Ulul mengatakan, BPOM telah mengeluarkan berbagai aturan terkait BPA untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Meski BPA belum sepenuhnya dilarang, kebijakan terbaru BPOM melalui Peraturan Nomor 6 Tahun 2024 merupakan langkah awal yang positif.
Dr. Ulul pun menegaskan bahwa IDI sebagai lembaga profesional, yang memang sudah lama membahas soal BPA, menyambut positif langkah BPOM terkait regulasi pelabelan peringatan BPA pada kemasan galon polikarbonat, dan mendukung upaya ini sepenuhnya.
Menurutnya, IDI sebagai lembaga profesi dokter bertugas menyampaikan kebenaran, terlepas dari apakah itu diterima atau tidak, dan harus berani mengungkapkan masalah yang dihadapi masyarakat.
“Pada 11 Agustus 2022, saya mengeluarkan pernyataan bahwa kita mendukung pelabelan BPA pada semua kemasan makanan. Seringkali kita concern pada apa yang kita makan. Tetapi kita jarang concern dengan bagaimana makanan itu dibungkus, dipackage atau diwadahi. Jadi kita bukan hanya bicara masalah air, tapi juga makanan,” katanya.
“Karena sifatnya hormonal destructor maka BPA bisa memengaruhi segala sesuatu, baik laki maupun perempuan. Bahkan sampai laki dan perempuan bisa infertile (mandul atau tidak punya keturunan),” katanya.
IDI punya kepedulian untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait BPA berdasarkan fakta ilmiah. Dr. Ulul juga menekankan bahwa BPA adalah zat yang berpotensi mengganggu hormon, yang bisa memengaruhi kesehatan baik pria maupun wanita, hingga menyebabkan infertilitas.
“Pro dan kontra pasti ada, dan ini adalah hal yang wajar. Kewajiban kita adalah bagaimana memberikan informasi yang sebenar-benarnya. Kalau bahaya katakan bahaya, tanpa harus ditutupi,” kata dr Ulul.
Baca juga: Pakar Kesehatan: Proses Distribusi dengan Truk Terbuka Jadi Potensi Cemaran BPA pada AMDK Galon
Pakar: Kemasan Memengaruhi Pencemaran BPA dalam Air Minum
Dalam forum yang sama, Prof Dr. Mochamad Chalid, SSi, MSc.Eng pakar polimer dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa proses distribusi dan perlakuan terhadap kemasan polikarbonat sangat berpengaruh pada risiko pencemaran BPA ke dalam air minum.
"Ibaratnya, polimer seperti untaian kalung. Satu mata rantai dari kalung tersebut di antaranya adalah BPA. Pada saat digunakan, akan sangat mungkin tali tersebut ada yang copot, sehingga menimbulkan permasalahan," jelas Prof Chalid.
Menurut Prof Chalid, ada banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya leaching atau peluruhan BPA dalam kemasan polikarbonat ke dalam air minum. Contohnya adalah paparan cahaya matahari dalam proses distribusi, suhu tinggi, hingga proses pencucian terus menerus yang tidak tepat, lalu digunakan kembali.
Hal ini sejalan dengan hasil pengawasan BPOM pada 2021-2022 yang menunjukkan peningkatan kadar BPA yang bermigrasi ke dalam air minum melebihi standar, yakni mencapai 4,58 persen pada konsentrasi lebih dari 0,6 ppm (standar BPOM), serta hingga 41,56 persen pada konsentrasi 0,05-0,6 ppm.(*)
Baca juga: Pakar Kebijakan Publik Sebut Pelabelan Bahaya BPA oleh BPOM Harusnya Didukung Semua Pihak