Persiapan COP 29, Indonesia Perlu Kunci Target Emisi dan Dana Iklim Pemerintahan Baru
Konferensi Perubahan Iklim (COP29) di Baku, Azerbaijan yang akan dimulai Senin 11 November 2024 besok.
Editor: Dodi Esvandi
Perhitungan baru ini menggantikan target US$ 100 miliar per tahun yang dicanangkan dalam COP15 di Kopenhagen pada 2009.
“Estimasi ini menunjukkan jumlah yang semakin besar dan terus menerus membesar,” kata Tory. Pendanaan bukan hanya mencakup mitigasi dan adaptasi iklim, tetapi juga kehilangan dan kerusakan (loss and damage) terhadap aset sumber daya alam dan perlindungan alam/keanekaragaman hayati.
Tory mengatakan bahwa dunia perlu kritis terhadap dana-dana investasi yang merusak alam.
Baca juga: IUCN: 16.000 Spesies Pohon Terancam Punah, Perubahan Iklim Kian Jadi Ancaman
Ia mengacu laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) pada 2003 yang menyebutkan bahwa investasi untuk proyek-proyek berbasis alam (Nature-based Solutions) hanya sebesar US$ 200 juta, dibandingkan investasi dana publik dan swasta US$ 7 triliun yang merusak alam dan keanekaragaman hayati.
Dana itu digunakan antara lain untuk pembangunan pembangkit listrik berbahan baku fosil dan emisi akibat perang Ukraina dan konflik berat Israel-Palestina.
Dana dalam laporan itu bahkan belum memperhitungkan kerusakan yang ditimbulkan akibat perusakan lingkungan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal dan hak asasi manusia.
Menurut Nadia, bukan hanya pendanaan iklim yang penting, tapi juga sistem pembiayaannya bisa berjalan dengan tepat.
Selama ini, dana terbesar turun dalam bentuk investasi infrastruktur untuk mitigasi.
Tapi pendanaan untuk adaptasi malah lebih kecil.
Nadia berharap pembiayaan adaptasi malah seharusnya tidak diberikan dalam bentuk utang.
Kriteria pembiayaan untuk loss and damage dan perlindungan alam pun masih jauh dari ketetapan siapa yang menanggung biayanya.
“Harus ada reformasi arsitektur pendanaan global,” katanya.
Eka Melisa, Direktur Perubahan Iklim dari Kemitraan, menjelaskan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan peran negara-negara yang bersekutu dalam BRICS, mengingat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan keinginan bergabung.
“Kita perlu melihat konstelasi pendanaan iklim, siapa yang mendanai, bagaimana memanfaatkan jaringan ekonomi negara-negara BRICS untuk kepentingan Indonesia,” katanya.