Absen Dipanggil Polisi, Hak Konstitusional Eks Ketua KPK Firli Bahuri Dinilai Harus Dihormati
Kasus pemerasan yang dituduhkan terhadap mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri masih menjadi perhatian publik.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan pemerasan yang dituduhkan terhadap mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri masih menjadi perhatian publik.
Usai ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya pada 23 November 2023, kasus ini hingga kini belum menemui kejelasan hukum.
“Jika melihat dari kaca mata hukum pidana, kasus ini tergolong sederhana. Pembuktian dalam perkara pidana cukup dilakukan dengan memenuhi dua alat bukti yang sah,” kata praktisi hukum dari Universitas Mataram, Sirra Prayuna, kepada wartawa, Kamis (28/11/2024).
Menurut dia, anatomi perkara seperti yang dituduhkan Polda Metro Jaya terhadap Firli Bahuri sudah seharusnya mengedepankan prinsip pembuktian yang jelas.
“Dalam konteks pembuktian, jika ada yang memeras tentu ada yang diperas. Lalu, harus diketahui kapan peristiwa itu terjadi, di mana tempatnya, bagaimana caranya, serta siapa saja saksi yang melihat dan mendengar langsung. Itu semua adalah elemen penting yang bisa dibuktikan secara hukum,” katanya.
Informasi yang dihimpun hingga kini sudah 123 saksi dan 11 ahli diperiksa terkait kasus ini.
Namun, berkas perkara yang bolak-balik antara penyidik dan kejaksaan membuat publik bingung dan bertanya-tanya mengenai kekuatan alat bukti yang dimiliki penyidik.
“Jika hingga saat ini belum ada bukti yang cukup maka demi keadilan, penyidik perlu mempertimbangkan penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP,” ujar Sirra.
Firli Bahuri kembali dipanggil sebagai tersangka hari ini terkait dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Pemanggilan ini semakin menambah kerancuan dalam perkara tersebut, terutama dengan petunjuk jaksa bahwa berkas perkara tidak memenuhi syarat materiil.
Sirra juga menyoroti pentingnya perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam proses penegakan hukum.
Menurutnya, hak Firli sebagai subjek hukum harus dihormati sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.
“Dalam Piagam Hak Asasi Manusia dan UUD 1945, setiap orang dijamin untuk mendapat perlakuan hukum yang adil dan proporsional. Hak konstitusional Firli Bahuri sebagai warga negara harus dihormati, termasuk hak untuk mendapatkan kejelasan hukum,” katanya.