Komnas HAM Menilai UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Perlu Direvisi
Komnas HAM memandang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) perlu direvisi.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro memandang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) perlu direvisi.
Ia mengatakan dalam sejarahnya pembentukan UU HAM dilatari situasi politik transisi di mana ada kedaruratan perlunya segera mekanisme HAM nasional menyangkut munculnya persoalan-persoalan HAM karena terbukanya ruang demokratisasi.
Baca juga: Komnas HAM Dorong Soal Hak Asasi Manusia Tak Hanya Jadi Isu Sektoral di Kabinet Merah Putih
Sebab itu, ia memandang masih adanya pertimbangan pragmatis yang digunakan dalam pembentukan UU itu.
Sehingga, UU HAM saat ini perlu direvisi untuk mengakomodir perkembangan yang terjadi setelahnya.
Hal itu disampaikannya di sela-sela Peringatan Hari HAM Sedunia di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2024).
Tema Hari HAM Sedunia kali ini adalah "25 Tahun Undang-Undang Nomor 29 Tentang Hak Asasi Manusia: Memperkuat Demokrasi dan HAM Menuju Indonesia Emas".
"Di dalam UU 39 kalau kita lihat, ada persoalan-persoalan teknis dari Undang-Undang. Yang paling sederhana, jumlah anggota Komnas HAM di situ disebut 35 orang. Karena waktu itu provinsi Indonesia itu ada 33, lalu ada dua pimpinan. Jadi hitungannya pragmatis saja dulu ketika bikin aturan itu," kata Atnike.
"Sekarang tentu harus kita revisi dong, kita review. Masa' ada hukum tapi tidak ditaati 35, bahkan setiap periode tidak sama. Itu kan harus dibuat sesuai dengan analisis yang rasional terhadap fungsi dari Komnas HAM. Apakah Komnas HAM jumlah anggotanya 5 seperti komisi negara lain, atau 7," sambungnya.
Baca juga: Diduga Ada Pelanggaran HAM, Komnas HAM Cari Bukti dan Fakta, 14 Saksi Dimintai Keterangan
Selain itu, lanjutnya, saat Komnas HAM dibentuk para pegawainya bukalah pegawai negeri.
Sementara saat ini, kata Atnike, para pegawai di Komnas HAM adalah ASN.
"Itu ada implikasi terhadap bagaimana status kepegawaian dari staf Komnas HAM. Kompetensi apa yang dimiliki, itu juga sekarang kami dorong. Bahwa Komnas HAM tidak hanya diberi tugas untuk mendorong penegakan HAM melalui pemantauan tetapi juga didukung dengan jabatan fungsional yang sesuai dengan tugas dan fungsi," sambung dia.
Terkait itu, Atnike pun mencontohkan soal tugas pemantauan atau penyelidikan HAM.
Menurutnya, bila Komnas HAM diberikan tugas pemantauan dan penyelidikan HAM oleh UU HAM, maka Komnas HAM juga membutuhkan jabatan fungsional pemantau HAM atau penyelidik HAM.
"Hal-hal seperti itu kelihatannya teknis, tapi penguatan kelembagaan kami sangat dibutuhkan. Penyelidik UU 26 (pelanggaran HAM berat), kami butuh jabatan fungsional penyelidik, kami butuh jabatan fungsional mediasi," ungkapnya.
Selain itu, menurutnya fungsi mediasi yang dilakukan Komnas HAM selama ini juga terbukti mampu menyelesaikan persoalan sejumlah hak asasi.
Tentunya, lanjut dia, selama bukan dalam konteks kejahatan pidana apalagi kejahatan pidana yang serius.
"Dalam konteks Indonesia ke depan, ini banyak proyek-proyek pembangunan, banyak proyek investasi. Maka tidak bisa segala sesuatunya diselesaikan hanya melalui proses hukum," ungkapnya.
"Harus ada model-model (penyelesaian) pelanggaran HAM melalui proses-proses, apakah restoratif, atau juga melalui proses-proses non yudisial yang tetap memberikan keadilan bagi para pihak dan menjamin hak asas dari warga negara," kata dia.
Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya di sela-sela acara yang sama mengungkapkan pihaknya telah memasukan UU HAM dalam prolegnas prioritas jangka menengah.
Sebab saat ini, kata dia, pihaknya masih fokus terkait dengan revisi UU terkait Perlindungan Saksi dan Korban.
"Kami memasukkan ini (UU HAM) dalam prolegnas prioritas jangka menengah. Yang sekarang kami mau selesaikan dulu LPSK. Karena ada Undang-Undang Tindak Pindana Perdagang Orang, ada Undang-Undang Tindak Pindana Kekerasan Seksual, yang lebih membutuhkan LPSK," ungkapnya.
"Insya Allah mudah-mudahan setelah revisi Undang-Undang LPSK ini kami selesaikan, kami akan masuk ke ranah Undang-Undang Hak Asasi Manusia," lanjut dia.
Namun demikian, Willy belum menjelaskan secara detil terkait hal itu.
Ia mengatakan terkait UU HAM hanya soal formula penguatan literasi HAM.
"Kalau itu lebih kepada literasi ya, tadi yang disampaikan oleh Bu Atnike Ketua Komnas HAM juga. Bagaimana tidak hanya cukup dengan sosialisasi, tapi literasi. Karena itu yang harus kita formulakan bersama-sama ya," kata Willy.
"Bagaimana HAM di dalam perspektif baik yang negatif ataupun positif, itu harus tidak hanya spirit gitu, tapi ya konkretnya mau bagaimana. Terus penguatan beberapa lembaga yang ada sejauh ini sebagai satuan kerja bersama-sama Komnas HAM. Ada Komnas Perempuan, ada Komnas Disabilitas, ada Komnas Anak. Ini kita akan lihat nanti seperti apa," lanjutnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia