LSM Lingkungan Desak Stop Perundingan Sertifikasi FSC dengan Korporasi Kayu Terbesar Kedua di RI
Auriga Nusantara mendesak Forest Stewardship Council FSC agar menghentikan proses perundingan pemulihan (Remedy Framework) dengan APRIL
Editor: Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi masyarakat sipil investigatif yang berkedudukan di Inggris Earthsight dan organisasi lingkungan Indonesia Auriga Nusantara secara terbuka mendesak Forest Stewardship Council FSC agar menghentikan proses perundingan pemulihan (Remedy Framework) dengan Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL), korporasi pulp terbesar kedua di Indonesia.
FSC mencabut sertifikasi APRIL pada 2013 karena keterlibatannya dalam deforestasi masif dan pelanggaran di Indonesia.
Pada 2016 FSC-APRIL memulai dialog formal yang membuka ruang kembalinya perusahaan pulp raksasa ini menggunakan sertifikat FSC dan memasarkan produknya sebagai produk yang berkelanjutan, dengan ketentuan, sebagiannya, terselesaikannya konflik dengan masyarakat dan seluruh rantai pasoknya bebas-deforestasi.
Peneliti Earthsight Kalina Dmitriew menyampaikan induk usaha APRIL yaitu Royal Golden Eagle seakan-akan sedang mengolok proses pemulihan FSC.
“Serangkaian tindakan Royal Golden Eagle mengesankan dirinya sebagai korporasi yang kredibel secara sosial dan lingkungan namun secara bersamaan menangguk keuntungan dari perusakan hutan alam merupakan pelacuran citra (greenwashing) pada skala industrial," kata Kalina dalam keterangan tertulis.
"FSC semestinya tidak mentolerir hal seperti ini, sehingga perlu sesegera mungkin menghentikan proses pemulihan dengan APRIL. Setidaknya hingga deforestasi dan penindasan hak asasi masyarakat setempat benar-benar terhenti dan diselesaikan secara memadai di seantero korporasi dan rantai pasok RGE,” ujarnya.
Kalina menambahkan, banyak perusahaan yang terhubung dengan RGE tetap memicu dan menangguk keuntungan dari serangkaian deforestasi terburuk di Indonesia.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan media investigatif telah mengungkap keterhubungan operasional, personel, dan rantai pasok antara RGE dengan sejumlah perusahaan seperti Mayawana Persada dan PT Industrial Forest Plantation, dua perusahaan yang secara konsisten bertengger di jajaran pemuncak deforestasi Indonesia pada tahun-tahun terakhir.
Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung menambahkan bertahun-tahun FSC naif menilai struktur korporasi pulp di Indonesia.
“Beragam bukti yang menunjukkan keterhubungan Tanoto Grup dalam deforestasi dan pelanggaran hak asasi di Indonesia semestinya menyadarkan FSC, sehingga lembaga sertifikasi ini tidak hanya bersandar pada keterangan yang disampaikan perusahaan, namun secara aktif menelisik struktur korporasi secara memadai sehingga perusahaan-perusahaan pemegang sertifikat FSC tetap kredibel dan turut melindungi hutan alam tersisa di Indonesia,” ujar Timer.
Pembabatan hutan alam demi pembangunan kebun kayu monokultur cepat-tumbuh di konsesi- konsesi ini telah memicu konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat dan lokal, menghasilkan emisi karbon luar biasa, hingga menghancurkan habitat spesies terancam punah seperti orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).
RGE menyangkal keterhubungannya dengan Mayawana Persada; juga menyangkal kendalinya terhadap Borneo Hijau Group yang mana merupakan induk dari PT Industrial Forest Plantation.
Sebulan lalu, laporan Rainforest Action Network mengungkap adanya satu pabrik sawit pemasok Apical (anak usaha RGE yang bergerak pada sektor industri sawit) yang menampung sawit ilegal yang ditanam melalui konversi hutan alam Suaka Margasatwa Rawa Singkil, satu area konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, yang merupakan habitat terpadat orangutan sumatera (Pongo abelii) di dunia.
Apical disebut akan menyelidiki hal ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.