5 Catatan Denny Indrayana Soal MK Hapuskan Presidential Treshold hingga Antisipasi Dinasti Politik
Pakar hukum tata negara Prof Denny Indrayana menyampaikan lima catatannya terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang hapuskan Presidential Treshold.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
Menurutnya, hal itu memiliki konsekuensi partai-partai yang ditetapkan KPU sebagai peserta pemilu punya kesempatan untuk mengajukan paslon pada Pilpres tahun 2029.
"Kalau sekarang yang ada di DPR-nya 8, tapi kalau yang non parlemen, yang ikut pemilu itu juga punya hak untuk mengajukam paslon. PSI dan kawan-kawan itu punya hak," katanya.
Keempat, karena berdasarkan putusan MK tersebut paslon-paslon non parlemen punya hak, maka muncul konsekuensi-konsekuensi politik.
Ia mencontohkan hal tersebut dengan kemungkinan munculnya kembali dinasti.
"Seperti munculnya lagi dinasti Jokowi misalnya melalui PSI, Ketua Umum Kaesang, Wakil Presiden Gibran yang perlu diantisipasi dampaknya bagi kesehatan demokrasi kita di Tanah Air," ungkapnya.
"Bagaimanapun demokrasi menurut saya harus membatasi politik-politik dinasti. Apalagi politik dinasti yang keluar dari prinsip-prinsip pemilu yang jujur dan adil," lanjut dia.
Terakhir, menurutnya bagaimana putusan MK ini disikapi ke depan akan menunjukkan arah politik hukum pemerintahan Prabowo dalam melakulan reformasi sistem kepemiluan kita.
"Karena bagaimanapun sistem kepemiluan kita memang perlu dikoreksi agar tidak terus makin menjauh dari prinsip demokrasi dan makin terseret arus 'duitokrasi', daulat uang, daulat duit," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya MK menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu melalui putusan atas permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024.
Dengan keputusan tersebut maka setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa perlu memenuhi persyaratan minimal dukungan suara tertentu.
Namun demikian, MK juga memberikan catatan penting.
Catat itu yakni dalam praktik sistem presidensial di Indonesia yang didukung model kepartaian majemuk, potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat membengkak hingga sama dengan jumlah partai peserta pemilu.
Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap efisiensi pemilu dan stabilitas sistem politik.
Selain itu, Mahkamah juga menegaskan penghapusan ambang batas adalah bagian dari perlindungan hak konstitusional partai politik.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.