Revisi UU Pemilu Imbas MK Hapus Presidential Threshold, DPR Diminta Jangan Pancing Kemarahan Publik
Ray meminta pihak DPR selaku pembuat undang-undang dan berencana merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagai
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti angkat bicara soal adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.
Ray meminta pihak DPR selaku pembuat undang-undang dan berencana merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagai tindak lanjut putusan MK itu, tak mencoba ubah putusan tersebut.
"Kita berharap tidak ada upaya kembali DPR untuk mengubah putusan MK ini dengan sebaliknya. Seperti pernah mereka lakukan di bulan Agustus 2024 lalu yang menimbulkan perlawanan masyarakat, khususnya mahasiswa dan gen Z," kata Ray, Jumat (3/1/2025)
Ia minta pihak DPR dan pemerintah tidak melakukan rekayasa putusan tersebut yang akan dapat memancing kegusaran publik.
"Partai politik harus menerima bahwa pandangan mereka tentang PT itu adalah bertentangan dengan konstitusi," kata Ray.
Baca juga: DPR dan Pemerintah Bakal Bahas Presidential Threshold usai Reses, Berharap Tak Banyak Capres
Ia berharap tidak ada lagi ada argumen MK yang dapat menjadi dasar penolakan permohonan uji materi konstitusionalitas presidential threshold di MK.
"Dan dengan sendirinya tidak ada lagi alasan untuk menolak agar pasal itu dihapuskan. Menerima penghapusan itu adalah konsekwensi logis dari putusan-putusan MK sebelumnya," terangnya.
Putusan MK tersebut dinilainya juga memberi isarat jelas bahwa keinginan untuk menarik kembali pilkada langsung menjadi pilkada DPRD akan potensial dibatalkan oleh MK.
"Sebab, jangankan tidak dipilih tidak langsung, nepotisme dan dinasti politik saja disebutkan oleh MK bertentangan dengan hak asasi warga, apalagi pemilihan melalui DPRD. Maka, keinginan pemerintah untuk mendesain ulang pilkada langsung ke tak langsung, sebaiknya dibatalkan," tegasnya.
MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden 20 Persen
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus syarat ambang batas pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT).
Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Jokowi Sambut Baik MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen: Harapannya Pilihan Capres Banyak
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.
MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.
Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.
Selain itu, setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan adanya upaya agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.
Padahal, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Bahkan, jika pengaturan ini dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden ikut terjebak dengan calon tunggal.
Baca juga: Ingatkan Soal ‘Peringatan Darurat’, Pakar Kepemiluan Wanti-wanti DPR Jangan Coba Distorsi Putusan MK
Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat untuk menyediakan banyak pilihan paslon.
“Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.