Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

AJI Ungkap 2 Kekerasan Jurnalis Model Baru Ini Diprediksi Makin Marak di Kondisi Demokrasi Sekarang

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengungkapkan adanya kekerasan model baru yang menimpa industri media dan jurnalis.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Gilang Putranto
zoom-in AJI Ungkap 2 Kekerasan Jurnalis Model Baru Ini Diprediksi Makin Marak di Kondisi Demokrasi Sekarang
Tangkapan layar Youtube AJI Indonesia
CATATAN TAHUNAN AJI - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida dalam konferensi pers daring catatan tahunan AJI berjudul ‘Keluar Mulut Harimau, Masuk Mulut Buaya’ pada Kamis (30/1/2025). Nany Afrida menjelaskan kekerasan dalam bentuk self-censorship menjadi kekerasan berbentuk intervensi kekuasaan terhadap berita-berita yang dinilai merusak citra pemerintah. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebut dewasa ini ada kekerasan model baru, dengan istilah self-censorship dan swasensor, yang menimpa industri media dan para jurnalis. 

Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida menjelaskan kekerasan dalam bentuk self-censorship adalah kekerasan berbentuk intervensi kekuasaan terhadap berita-berita yang dinilai merusak citra pemerintah.

Modus paling lazim dilakukan adalah penguasa, dalam hal ini lembaga pemerintah, menghubungi petinggi media untuk menghapus atau setidaknya mengubah judul dan isi berita sesuai keinginan agar citra mereka tetap baik di mata publik.

“Ada kekerasan model baru ya teman-teman, dan saya rasa ini perlu diperhatikan dan ke depannya akan lebih banyak terjadi dalam prediksi AJI,” kata Nany dalam konferensi pers daring catatan tahunan AJI berjudul ‘Keluar Mulut Harimau, Masuk Mulut Buaya’ pada Kamis (30/1/2025).

“Jadi ini ada terjadi sekarang dan bahkan semakin marak ya. Mungkin teman - teman pernah melihat, ada berita yang kemudian hilang beritanya di online. Itu termasuk dari self-censorship, di situ terlihat 404 dan tidak bisa diakses lagi (berita tersebut) atau bisa jadi dia muncul dengan judul berbeda, dan isi konten yang tidak terlalu keras seperti sebelumnya,” lanjutnya.

Kemudian kekerasan dengan istilah swasensor, yang disebut Nany dilakukan secara inisiatif oleh petinggi redaksi dengan mengubah judul atau isi berita karena khawatir pemberitaan itu bisa membuat lembaga politik dan kekuasaan tersinggung. 

Kasus seperti ini kata AJI, erat kaitannya karena urusan ekonomi di mana adanya kekhawatiran terganggunya kerja sama iklan yang dijalin antara lembaga politik dan kekuasaan dengan media bersangkutan.

Berita Rekomendasi

"Apalagi berhubungan dengan orang-orang yang memberi pemasukan ke media tersebut," katanya.

AJI menilai dua bentuk kekerasan masuk kategori kekerasan terhadap pers karena tidak sesuai dengan pedoman media siber dan kode etik jurnalistik.

AJI memprediksi bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan produk jurnalistiknya akan semakin marak di masa mendatang, terlebih kondisi demokrasi dewasa ini yang disebutnya juga ikut mendukung praktik tersebut.

"Jadi ini ke depan kami memprediksi akan lebih banyak lagi dengan kondisi demokrasi yang seperti sekarang ini," ungkap Nany.

Baca juga: Geram Dituding Sewa Wartawan Bayaran oleh Dokter K, Zeda Salim Beri Ultimatum pada Pacar Ammar Zoni

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas