Korupsi Makin Menggurita, Hardjuno: Pengesahan RUU Perampasan Aset Harga Mati
Kasus korupsi yang terus meluas di Indonesia menunjukkan lemahnya sistem penegakan hukum dalam menangani praktik rasuah.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus korupsi yang terus meluas di Indonesia menunjukkan lemahnya sistem penegakan hukum dalam menangani praktik rasuah.
Berbagai skandal korupsi bernilai triliunan rupiah, seperti dugaan megakorupsi PT Pertamina yang merugikan negara hingga Rp271 triliun sejak 2018, semakin memperburuk situasi.
Kasus ini menambah daftar panjang skandal besar lainnya, termasuk BLBI, Jiwasraya, ASABRI, dan PT Timah.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap pemberantasan korupsi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dianggap sebagai solusi yang efektif.
Namun, hingga kini, pembahasannya masih terkatung-katung di DPR.
Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai lambannya pengesahan RUU tersebut menunjukkan ketidaktegasan negara dalam memerangi korupsi secara serius.
"Pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU harga mati. Tidak boleh ditunda lagi," tegas Hardjuno di Jakarta, Rabu (5/3/2025).
Hardjuno menjelaskan bahwa perampasan aset adalah cara yang efektif untuk memberikan efek jera kepada para koruptor.
Ia menekankan bahwa mengandalkan hukuman penjara tidak cukup, mengingat banyak koruptor yang tetap dapat hidup nyaman setelah menjalani hukuman karena aset mereka tidak tersentuh. "Perampasan aset harus menjadi senjata utama dalam pemberantasan korupsi," tambahnya.
Strategi pemberantasan korupsi, menurut Hardjuno, harus meliputi tiga aspek utama:
pencegahan, penindakan, dan pemulihan aset.
Namun, selama ini, aspek pemulihan aset sering terabaikan akibat mekanisme hukum yang berbelit.
Proses pemulihan aset hasil korupsi masih bergantung pada putusan pidana, yang dapat memakan waktu bertahun-tahun dan memberi celah bagi koruptor untuk menyamarkan aset mereka.
Hardjuno menambahkan bahwa RUU Perampasan Aset membawa terobosan penting dengan memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan penyitaan aset tanpa perlu menunggu putusan pidana.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.