Urbanisasi Picu Krisis Air dan Pencemaran Sungai, Begini Upaya Pemerintah Mengatasinya
Selain ketersediaan air, kualitasnya juga menjadi tantangan serius. Dari 2.195 sungai yang dipantau
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Krisis air kini semakin mengkhawatirkan karena kenaikan populasi penduduk, urbanisasi, dan perubahan tata guna lahan.
Kondisi-kondisi tersebut mempercepat tekanan terhadap sumber daya air yang semakin terbatas.
Di Pulau Jawa, misalnya, ketergantungan masyarakat pada sumur bor menyebabkan penurunan muka air tanah. Kondisi ini memperburuk krisis air bersih yang berlangsung perlahan tetapi pasti.
Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan, Kementerian Lingkungan Hidup Sigit Reliantoro mengatakan, ketersediaan air tidak merata, menyebabkan beberapa wilayah mengalami krisis yang kian parah.
Dalam Forum Air Indonesia 2025 bertema "Konservasi Sumber Air untuk Generasi Mendatang" di Jakarta, Sigit menegaskan pemerintah terus berupaya menangani permasalahan air ini.
"Ada dua langkah utama yang kami lakukan. Pertama, melakukan kajian daya tampung air. Secara nasional, kita masih menggunakan 17,39 persen dari air yang tersedia untuk konsumsi, pertanian, dan industri," ujar Sigit Rabu (26/3/2025).
Baca juga: Resmi Beroperasi, Pabrik Baru Wavin Berupaya Beri Solusi Pengelolaan Air yang Berkelanjutan
Namun, meskipun secara nasional penggunaan air masih dalam batas aman, distribusi yang tidak merata menyebabkan beberapa daerah mengalami kelangkaan air yang akut.
"Di Jawa, pada 2024 kita kekurangan 118 miliar meter kubik per tahun untuk memenuhi kebutuhan. Sementara di pulau lain seperti Sumatera dan Kalimantan, ketersediaan air masih mencukupi," tambahnya.
Selain ketersediaan air, kualitasnya juga menjadi tantangan serius. Dari 2.195 sungai yang dipantau, hanya 2,19 persen titik pemantauan yang memenuhi standar baku mutu.
"Sebagian besar, yaitu sekitar 96 persen, tercemar ringan. Meski hanya sebagian kecil yang tercemar berat, dampaknya tetap signifikan," jelas Sigit.
Tingginya tingkat pencemaran ini berpengaruh terhadap ketersediaan air bersih. Untuk mengolah air menjadi layak konsumsi, diperlukan teknologi yang lebih canggih, yang pada akhirnya meningkatkan biaya pengolahan air.
Tidak hanya itu, perubahan iklim juga memperburuk kondisi air di Indonesia. Intensitas hujan yang semakin ekstrem menyebabkan banjir besar di berbagai daerah, termasuk Bekasi dan Jakarta. Menurut Sigit, curah hujan yang mencapai 115 milimeter telah melebihi ambang batas ekstrem dan menjadi pemicu utama banjir.
Selain itu, berkurangnya tutupan lahan memperparah situasi. Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi, tutupan vegetasi hutan hanya tersisa 3,53 persen.
Sementara di DAS Ciliwung, hanya sekitar 10-11 persen kawasan hulu yang masih memiliki vegetasi hutan. Hal ini mengurangi daya serap tanah terhadap air dan meningkatkan risiko banjir di Jakarta dan sekitarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.