Bagaimana Memaksimalkan Trading Aset Kripto Agar Investasi Pemula Bisa Cuan?
Investasi di aset kripto saat ini sedang menjadi tren bagi masyarakat di hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Investasi di aset kripto saat ini sedang menjadi tren bagi masyarakat di hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Banyak cara agar apa yang mereka lakukan berakhir dengan cuan atau menguntungkan.
Berbagai strategi dilakukan para investor untuk memaksimalkan profit, dari investasi Bitcoin yang mereka miliki.
Tergantung kebutuhan, tujuan investasi, dan karakter investor tersebut, apakah tipe investor yang agresif atau yang tergolong santai?
Bagi Anda yang baru saja mulai investasi Bitcoin, ada beberapa cara trading Bitcoin yang bisa Anda coba untuk memaksimalkan keuntungan.
Gunakan strategi jangka panjang
Harga Bitcoin, dan aset kripto lainnya secara umum, bisa naik dan turun secara signifikan setiap harinya.
Bagi sebagian investor pemula, pergerakan harga Bitcoin yang volatil itu kadang bisa membuat panik.
Baca juga: Transaksi Kripto Kena Pajak Mulai 1 Mei 2022, Begini Tanggapan CEO Indodax
Mereka lalu buru-buru menjual Bitcoin saat sedang turun, karena takut harganya akan semakin jatuh, sehingga mengalami kerugian.
Padahal kalau mau menunggu sedikit lebih lama lagi, bisa jadi harga Bitcoin akan naik lebih tinggi.
Secara historis, Anda bisa melihat bahwa pergerakan harga Bitcoin dalam jangka panjang itu cenderung naik.
Jadi, Anda tidak mudah histeris ketika harganya turun. Inilah mengapa, Bitcoin sering dijadikan investasi untuk jangka panjang.
Baca juga: Wamendag: Kreativitas Game Lokal Tingkatkan Utilisasi Komoditas Aset Kripto
Penting untuk melakukan riset soal investasi pilihan Anda. Jadi, Anda bisa lebih memahami karakter suatu instrumen investasi, apa saja faktor yang mempengaruhi naik atau turunnya harga, dan potensinya seperti apa di masa depan.
Fokus di kripto yang besar, bagi ke kripto kecil
Salah satu strategi yang bisa Anda coba adalah, menjual profit dari Bitcoin Anda ke koin yang nilainya lebih kecil.
Ini bisa dilakukan sebagai salah satu upaya diversifikasi aset, sehingga saat satu kripto nilainya turun, aset Anda yang lain masih bisa terselamatkan.
Simpan mayoritas investasi Anda dalam Bitcoin. Lalu, Anda bisa membagi keuntungan dari investasi Bitcoin Anda ke beberapa koin lain yang lebih kecil nilainya.
Misalnya, Anda membeli 1 Bitcoin. 6 bulan kemudian, nilainya naik jadi 1,5 BTC. Kini, Anda sudah memiliki keuntungan 0,5 BTC.
Anda bisa menyimpan 0,3 BTC tadi, lalu menginvestasikan 0,2 BTC sisanya pada stablecoin atau ICO.
Baca juga: Bareskrim akan Sita Aset Kripto Rp 35 Miliar Milik Indra Kenz dan Adiknya Nathania Kesuma
Stablecoin adalah aset kripto yang dirancang untuk memiliki nilai yang sama dengan aset konvensional seperti emas atau dolar AS.
Ini dilakukan untuk menjaga kestabilan harga, sehingga tidak terlalu fluktuatif jika dibandingkan dengan aset kripto pada umumnya.
Beberapa contoh stablecoin yang memiliki reputasi cukup baik adalah adalah USD Coin (USDC).
Sedangkan ICO (initial coin offering), adalah saat sebuah koin baru diluncurkan untuk pertama kalinya, dan bisa dibeli oleh publik.
Namun, Anda perlu lebih waspada dalam memilih ICO. Pelajari semua hal penting tentang ICO tersebut.
Siapa saja tim pengembangnya, seperti apa roadmap-nya, potensi adopsi dalam beberapa tahun ke depan, dan aplikasi teknologinya.
Baca juga: Sekolah di Dubai Izinkan Bayar SPP Gunakan Bitcoin dan Ethereum
Hindari ICO yang dibuat hanya untuk mengejar viral, tapi fungsinya tidak jelas, agar Anda tidak rugi ke depannya.
Salah satu ICO yang cukup sukses adalah Ether. Saat Ethereum pertama kali merilisnya, harga Ether ada di kisaran US$0,31.
Pada April 2022, 1 Ether sudah diperjualbelikan di angka US$3.094, atau sekitar Rp44 juta.
Dengan angka tersebut, para investor yang membeli Ether saat ICO, tentu mendapatkan ROI yang sangat menguntungkan.
Beli sedikit tapi rutin
Tak hanya menjual, Anda juga bisa mengatur strategi agar beli Bitcoin bisa lebih menguntungkan, terutama dalam investasi jangka panjang.
Salah satunya menggunakan metode dollar cost-averaging (DCA).
DCA ini adalah metode di mana Anda membeli Bitcoin sedikit demi sedikit secara rutin.
Misalnya, Anda punya dana investasi senilai Rp500.000. Dari pada langsung dibelikan Bitcoin semua dalam satu waktu, Anda bisa membaginya jadi Rp50.000 setiap minggu.
Karena harga Bitcoin itu volatil, bisa jadi di minggu pertama Anda mendapatkan harga yang rendah, minggu depannya lebih tinggi, tapi di minggu berikutnya harga Bitcoin yang Anda dapat lebih murah lagi.
Jadi saat dihitung secara keseluruhan, investasi Rp50.000 Anda setiap minggu bisa lebih menguntungkan dari pada Rp500.000 di satu waktu.
Untuk menggunakan metode DCA ini, sebaiknya Anda memilih platform crypto exchange yang mendukung fitur Repeat Buy atau pembelian secara rutin.
Salah satunya adalah Luno Indonesia, yang fitur Repeat Buy di dalamnya mudah diakses, baik melalui aplikasi mobile maupun web.
Bahkan, Anda juga bisa mulai investasi Bitcoin dari Rp25.000 saja dengan biaya administrasi yang tergolong murah.
Bitcoin harganya sejauh ini selalu naik turun dalam kisaran US$ 38.000-US$ 43.000. Setiap penguatan tajam, selalu diiringi dengan koreksi, sementara setiap koreksi dalam diiringi dengan penguatan.
Namun, Bitcoin pada hari ini, Kamis (28/4) pukul 16.10 WIB berada di level US$ 39.744,91 per BTC. Level tersebut tercatat telah turun hingga 16,67% secara year to date.
Dengan kondisi market kripto yang belum terlalu bergairah, beberapa investor memilih untuk melakukan stacking guna memaksimalkan return.
Stacking sendiri merupakan metode mengunci aset kripto di dompet digital pada sebuah platform exchange dengan durasi tertentu, misalnya seminggu, sebulan, tiga bulan, hingga setahun.
CEO Triv Gabriel Rey menilai, metode staking memang jadi cara yang ampuh untuk mengoptimalkan return, terlebih ketika kondisi market cenderung sideways atau bearish.
Lewat staking, investor juga tidak perlu pusing baca chart dan mengawasi market, namun tetap mendapatkan keuntungan.
Kendati begitu, ia mengingatkan dalam melakukan staking, investor tidak bisa asal pilih. Tetap harus mempertimbangkan fundamental aset kripto yang hendak di-staking. Hal ini guna memastikan harga ke depannya bisa tetap menguat.
“Jadi untuk para investor jangka panjang, daripada sebatas hold, staking juga bisa dijadikan opsi karena dengan demikian bisa menambah potensi pundi-pundi keuntungan,” ujarnya ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (28/4).
Baca Juga: Cara Trading Bitcoin untuk Memaksimalkan Cuan Bagi Pemula
Saat ini, Gabriel melihat ada tiga aset kripto yang menarik untuk dijadikan pilihan staking. Pertama adalah Binance Coin (BNB) yang menawarkan bunga hingga 9% per tahun. Menurutnya, BNB secara fundamental sangat solid lantaran merupakan koin yang digunakan di platform exchange Binance.
Dengan Binance yang merupakan platform exchange terbesar di dunia, maka kinerja exchange tersebut menjanjikan, begitupun profitnya.
Tak hanya itu, setiap pertambahan pengguna dan transaksi maka akan semakin memperkuat fundamentalnya.
Kedua adalah USD Terra (UST) yang menawarkan bunga untuk staking hingga 10% per tahun. UST sebagai stablecoin membuat pergerakan harganya jauh lebih stabil.
Selain itu, secara fundamental, UST juga jauh lebih baik ketimbang tether karena sepenuhnya decentralized, alih-alih dikendalikan oleh salah satu pihak.
Ketiga adalah Axie Infinity (AXS) yang menawarkan imbal hasil hingga 60%.
Menurutnya, AXS cukup solid karena merupakan market leader di platform play to earn, karakter NFT di dalam permainannya juga laku, hingga rutin memberikan patch baru untuk mengupdate permainan mereka.
“Tapi saat ini investor sebaiknya melakukan DCA atau menambah posisi karena harga yang cenderung sudah bottoming. Apalagi, pasar sepertinya juga sudah priced in dengan keputusan The Fed yang agresif ,” imbuhnya.
Cofounder Cryptowatch dan Pengelola Channel Duit Pintar Christopher Tahir juga meyakini saat ini jadi momen yang tempat untuk melakukan akumulasi setiap terjadi koreksi, ketimbang melakukan trading jangka pendek ataupun stacking.
Menurut dia, stacking pada dasarnya mirip dengan menitipkan dana ke platform exchange. Dengan demikian ada unsur trust dalam keputusan melakukan stacking, sehingga pada akhirnya terdapat risiko.
Ia pribadi kurang menyarankan staking, kecuali memang platform tersebut sudah sangat dipercaya.
“Namun sebagai gambaran, platform-platform yang teregulasi saja bisa "kabur", apalagi yang tidak teregulasi.
Jadi, momen agresifnya The Fed dalam memberikan kebijakan pengetatan moneter, justru memberikan potensi untuk kita beli aset kripto di harga yg lebih murah,” tutupnya. (Tim KONTAN/Indah Sulistyorini/Hikma Dirgatara/Wahyu Tri Rahmawati)