Insentif Jor-joran kepada Mitra Ojek Online Rusak Persaingan Usaha
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan penentuan tarif transportasi online harus dibahas bersama.
Penulis: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan penentuan tarif transportasi online harus dibahas bersama.
Hal ini diperlukan agar terjadi persaingan sehat antar aplikator dalam penentuan tarif sehingga tidak ada salah satu pihak yang dikorbankan.
”Seperti praktek kartel. Jadi dua aplikator (GO-JEK dan Grab) duduk bersama untuk menentukan tarif bersama itu tidak boleh karena itu melanggar undang-undang tersebut,” ucapnya kepada wartawan, Rabu (25/04).
Aturan yang dimaksud adalah UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kartel termasuk di dalamnya.
Jika bukan kartel, sambung Tulus, yang terjadi saat ini berupa pemberian insentif (termasuk subsidi) jor-joran oleh aplikator kepada mitra driver.
Kemudian di saat yang sama, tarif kepada masyarakat ditekan serendah mungkin.
Praktik menjurus perang tarif itu juga termasuk persaingan usaha tidak sehat dan cenderung bermotif monopoli.
Langkah itu diduga bertujuan “mematikan” pesaing dan berpotensi jangka pendek sehingga bisnis terancam tidak berkelanjutan (sustainable).
Baca: Cerita Driver Gojek yang Gratiskan Pelajar sampai yang Pergi Beribadah
"Dalam hal tarif harus ada keadilan tarif untuk driver, aplikator, dan konsumen,” tekan Tulus.
Dia mengaku sudah berdiskusi dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dari situ terungkap pesan KPPU yang menegaskan penentuan tarif jangan sampai terjadi pelanggaran sebagaimana diatur dalam UU Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sebelumnya, pembahasan transportasi online difasilitasi Komisi V DPR terpaksa ditunda karena Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berhalangan hadir.
Ketua Komisi V Fary Djami Francis mengatakan rapat terkait transportasi online akan dilanjutkan paska reses sekitar pertengahan Mei 2018.
Dia menekankan pembahasan secara komprehensif perlu dilakukan meskipun belum ada pengakuan secara hukum bahwa ojek bukan alat transportasi publik.
”Fakta di lapangan masyarakat membutuhkan itu dan sudah kurang lebih 15 juta trip per hari dari transportasi kendaraan online roda dua,” ungkapnya di gedung DPR, Rabu (25/04).
Sementara ini Fary menilai fasilitas yang tersedia melalui aplikasi online itu merupakan pilihan terbaik untuk masyarakat.