Tahun 2030 Indonesia Ingin Jadi Pusat Produksi Mobil Listrik untuk Pasar Lokal dan Ekspor
Pengembangan mobil listrik juga membutuhkan dukungan fiskal maupun non fiskal.
Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Tribunnews, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harjanto, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian mengatakan, di tahun 2030 mendatang pemerintah menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat produksi mobil bertenaga Internal Combustion Engine (ICE) maupun listrik untuk pasar domestik sampai ekspor.
Agar bisa menjual produk tersebut ke luar negeri, industri nasional diharapkan memproduksi bahan baku dan komponen utamanya secara mandiri.
"Lima tahun sebelum mencapai target besar tersebut, Kemenperin menginginkan 20% dari total produksi kendaraan baru di Indonesia sudah berteknologi electrified. Sehingga komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dapat tercapai," kata Harjanto di Bali, Selasa (23/4/2019).
Target ini diajukan menyusul telah rampungnya riset mobil listrik yang dilakukan oleh 6 perguruan tinggi negeri.
Masing-masing Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Sebelas Maret dan Institut Teknologi Surabaya serta Universitas Udayana telah menyelesaikan Riset dan Penelitian Komprehensif atas Kendaraan Bertenaga Listrik (Electrified Vehicle Comprehensive Research and Study).
Baca: Pebalap Rio Haryanto Jadi Pembeli Pertama Toyota C-HR Hybrid di Indonesia
Riset ini mendapat dukungan penuh dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
Para peneliti membedah 18 unit mobil listrik dan konvensional dari Toyota Indonesia sebagai bahan penyusunan peta jalan industri otomotif Indonesia.
Mobil-mobil listrik yang mereka riset adalah Toyota Prius, Toyota Prius Plug-in Hybrid dan Corolla Altis.
Terkait peringatan para peneliti tentang munculnya tantangan untuk mewujudkan target tersebut, Harjanto menyatakan pihaknya sudah mengantisipasi.
Salah satunya dalam menyediakan infrastruktur pengisian energi listrik, pemerintah tidak ingin membebani biaya tambahan yang terlalu tinggi kepada masyarakat agar mereka bisa menerima mobil listrik ini.
"Artinya pengembangan mobil listrik juga membutuhkan dukungan fiskal maupun non fiskal. Kami menyusun beberapa strategi untuk mendukung pengembangan LCEV tersebut," ujarnya.
Harjanto menyebutkan beberapa dukungan tersebut diantaranya adalah insentif fiskal berupa tax holiday/mini tax holiday untuk Industri Komponen Utama seperti baterai, motor listrik (magnet dan kumparan motor).
Payung hukumnya berbentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150 tahun 2018 dan dukungan Tax Allowance bagi investasi baru maupun perluasan.
Kemenperin juga mengusulkan tiga insentif tambahan kepada Kementerian terkait, yaitu diskon pajak penghasilan sampai dengan 300 persen untuk industri yang melakukan aktivitas riset dan pengembangan, pengurangan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil listrik, serta meminta pengaturan khusus Bea Masuk dan Perpajakan lainnya termasuk Pajak Daerah untuk mempercepat industri kendaraan listrik di Indonesia.
Keseluruhan upaya pemberian insentif ini diharapkan mampu memberikan keuntungan bagi konsumen, sehingga upaya memopulerkan mobil bertenaga listrik dapat berjalan sesuai dengan target yang ditetapkan.
"Kami juga akan menjajaki ekstensifikasi pasar ekspor melalui negosiasi Preferential Tariff Agrement dengan negara yang memiliki demand tinggi untuk kendaraan bermotor," kata dia.