KAI Ngaku Kalah Bersaing dengan Truk di Bisnis Logistik
Didiek menyebut kendala yang dihadapi KAI yakni komponen pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen hingga track access charge (TCA).
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama PT KAI (Persero) Didiek Hartantyo mengaku masih kesulitan bersaing dengan moda angkutan logistik darat.
Hal itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/7/2020).
Didiek menyebut kendala yang dihadapi KAI yakni komponen pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen hingga track access charge (TCA).
"Kami kena PPN 10 dan biaya Track Access Charge karena jalur yang dilintasi merupakan barang milik negara," ucap Didiek.
Didiek menjelaskan bahwa TAC merupakan harga yang harus dibayar KAI kepada pemerintah saat kereta melewati rel.
Baca: Kelangkaan BBM Hambat Distribusi Logistik di Daerah
Tak hanya itu, KAI juga terikat dengan tanggung jawab Infrastructure Maintenance and Operation (IMO). "KAI juga memiliki kewajiban berkontribusi merawat jalur milik negara," paparnya.
Menurutnya, kondisi ini membuat KA Logistik tidak bisa optimal menandingi angkutan barang moda transportasi lainnya.
Baca: E-commerce, Logistik dan Food Delivery Topang Penjualan Isuzu Selama Masa Pandemi Covid-19
Didiek bilang KAI tidak dapat menurunkan tarif logistik pada di masa pandemi Covid-19 kebutuhan pengiriman barang sedang tumbuh.
"Angkutan logistik truk tidak ada PPN. Truk gunakan jalan ya gunakan saja. Jadi ada dua komponen besar ini menyebabkan kita kurangbisa bersaing dalam angkutan logistik," jelasnya.
Diketahui, KAI bakal menerima dana talangan sebesar Rp3,5 triliun dari pemerintah dalam program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional).
Dana talangan tersebut akan dimanfaatkan untuk menjaga arus kas perusahaan hingga akhir tahun 2020.
Adapun dana talangan akan digunakan ke lima komponen kebutuhan di antaranya perawatan sarana perkeretaapian sebesar Rp680 miliar, perawatan prasarana termasuk bangunan Rp740 miliar, pemenuhan biaya pegawai Rp1,25 triliun, biaya bahan bakar Rp550 miliar, dan pendukung operasional lainnya Rp280 miliar.
"Yang paling besar ini untuk pembiayaan pegawai karena perusahaan tidak melakukan PHK atau tidak ada potong gaji. THR pun dibayar sesuai dengan ketentuan," ujar Didiek.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.