Dampak Krisis Energi, Jumlah Produksi Mobil di Eropa Akan Turun Hingga 1 Juta Unit per Kuartal
Jumlah produksi mobil dapat turun mulai akhir tahun ini dan berlanjut hingga 2023.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, LONDON – Jumlah produksi mobil di Eropa diperkirakan dapat mengalami penurunan hingga 1 juta kendaraan per kuartal akibat dari krisis energi yang sedang berlangsung.
Dilansir dari Carscoops, Minggu (16/10/2022) S&P Global Mobility percaya jumlah produksi mobil dapat turun mulai akhir tahun ini dan berlanjut hingga 2023.
Analis menyatakan kekurangan suku cadang dan macetnya rantai pasok akan sangat membebani produsen mobil mulai November hingga musim semi 2023. Hal itu akan semakin buruk jika terjadi pemangkasan energi selama musim dingin.
Baca juga: Imbas Krisis Suku Cadang, Honda Pangkas Produksi Mobil hingga 40 Persen di Jepang
Pemerintah di Eropa kini tengah berusaha meminimalkan dampak krisis energi, tetapi langkah-langkah yang diambil tampaknya tidak cukup untuk melindungi industri otomotif dari penghentian produksi.
Sementara itu, S&P Global Mobility mengatakan model pasokan just-in-time dapat menghadapi masalah dan pabrik mungkin harus menghentikan pengiriman kendaraan yang telah selesai karena kekurangan komponen tunggal.
Prakiraan telah menunjukkan bahwa pabrik mobil Eropa dapat memproduksi antara 4 juta hingga 4,5 juta kendaraan per kuartal, tetapi jika pembatasan energi diberlakukan, produksi bisa turun menjadi 2,8 juta kendaraan per kuartal.
"Tekanan pada rantai pasokan otomotif akan semakin kuat, terutama yang bergerak ke hulu dari manufaktur kendaraan," kata Edwin Pope kepada Auto News.
Di samping itu, S&P Global Mobility telah menyusun pemeringkatan terhadap 11 pusat produksi mobil utama di Eropa berdasarkan posisi terbaik untuk menghadapi masalah energi pada musim dingin mendatang.
Berdasarkan pemeringkatan tersebut, Republik Ceko dan Jerman mendapat penilaian baik, karena kedua negara tersebut memiliki ketergantungan yang rendah pada pada listrik yang berasal dari gas.
Sedangkan Spanyol, Italia, dan Belgia mendapat penilaian buruk karena tergantungan yang tinggi pada gas dan belum dapat mencapai swasembada energi.