IEEFA: Pembatasan Mobil BBM di Negara Maju Pacu Produsen Ekspansif Jualan di Emerging Markets
IEEFA melihat hal ini berisiko membuat pemain otomotif lebih ekspansif dengan produk ICEV mereka di emerging markets berpotensi meningkat
Penulis: Lita Febriani
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa negara di kawasan Eropa akan mulai menerapkan pembatasan penggunaan mobil berbahan bakar bensin atau Internal Combustion Engine Vehicle (ICEV).
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) melihat hal ini berisiko membuat pemain otomotif lebih ekspansif dengan produk ICEV mereka di emerging markets berpotensi meningkat.
"Dengan penjualan kendaraan konvensional global yang mencapai puncak pada 2017, pemain industri otomotif menghadapi dua tantangan sekaligus, yakni penurunan permintaan kendaraan konvensional dan tuntutan menghadapi masa depan berbasis listrik," jelas Analis Energi sekaligus Penulis Laporan Electrifying Indonesia's Road Transport Putra Adhiguna, Senin (6/2/2023).
Baca juga: Era Kendaraan Listrik Bisa Geser Dominasi Produsen Mobil Jepang di Indonesia
Meski rencana peralihan mereka lambat, para pemain besar industri otomotif juga dapat berpotensi membantu menurunkan ketergantungan sektor transportasi terhadap impor BBM.
Untuk mendorong peralihan mereka, pemerintah dapat mempertimbangkan memfasilitasi melalui akses sumber daya dan kebijakan yang sesuai, dengan prasyarat tegas bahwa mereka menyelaraskan tujuan dengan ambisi kendaraan listrik Indonesia.
Putra menyoroti, industri kendaraan 4W dan 2W di Indonesia beroperasi pada 48 persen dan 36 persen di bawah kapasitas produksi mereka, yang juga akan memengaruhi ambisi kendaraan listrik.
"Kapasitas berlebih tersebut sangat mungkin akan menurunkan animo pemain otomotif untuk bergerak menjauh dari ICEV," terangnya.
IEEFA juga mencatat adanya kontras antara narasi publik yang berjalan di pasar yang berbeda.
Di Jepang, perkembangan menuju mini-BEV berharga terjangkau tengah bergulir dalam merespons masuknya kompetisi dari China.
Sementara di Indonesia, para pelaku industri otomotif tampak lebih menekankan sulitnya adopsi kendaraan listrik.
"Rendahnya penggunaan motor listrik di Indonesia juga menjadi indikator akan pengaruh kuat dari pemain yang ada. Apalagi mengingat pasar motor Indonesia termasuk salah satu yang terbesar di dunia," katanya.
Baca juga: 840 Karyawan Produsen Kendaraan Listrik Rivian Kena PHK
Dominasi dan arah dari raksasa otomotif yang ada tidak mungkin dikesampingkan dalam pembahasan ambisi EV Indonesia.
'Karenanya, dukungan terhadap EV harus dibarengi kebijakan tegas untuk menahan laju penggunaaan BBM untuk ICEV dari berbagai arah," ucap Putra.
Tanpa menangani hal-hal di atas secara terbuka, publik akan dengan serius mempertanyakan apakah ambisi pembangunan industri yang berkaitan dengan kendaraan listrik saat ini ditujukan untuk kemajuan sektor transportasi domestik yang lebih efisien dan bersih, ataukah utamanya untuk pasar ekspor.
Pada akhirnya, kendaraan listrik bukanlah solusi tunggal dari seluruh kendala sektor transportasi.
Perhatian terhadap sarana transportasi publik, pengembangan tata ruang kota yang baik dan opsi mobilitas lainnya perlu terus dijalankan.
"Namun sejalan dengan itu, perhatian terhadap produsen otomotif besar yang ada juga sangatlah penting, mengingat mereka dapat memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan arah ke depan," ungkap Putra.