Sholeh, Caleg Miskin Tarik Simpati Pakai Pijat
Silakan coba tanya uang pada para caleg dari kalangan wong cilik. Mereka akan langsung menjawab tidak punya.
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Silakan coba tanya uang pada para calon anggota legislatif (caleg) dari kalangan wong cilik. Mereka akan langsung menjawab tidak punya.
Coba juga cari gambar mereka di kaca-kaca mobil angkutan umum, pasti akan sulit menemukannya.
Apalagi, kalau mencari mobil dengan branding stiker kampanye mereka, dijamin tidak akan pernah ada.
Para caleg kantong kering, memang tidak akan menggunakan pola kampanye seperti itu. Tabungan mereka tidak akan cukup untuk melakukannya.
Itu seperti M Sholeh, penjual kopi yang menjadi caleg untuk DPRD Surabaya. Caleg Golkar ini cuma punya modal uang Rp 2 juta, nilai yang kelewat kecil dibandingkan satu papan reklame milik caleg berduit.
Sholeh sadar, tidak mungkin melawan caleg berduit dengan menggunakan duit, karena ia pasti kalah.
Memaksa diri berkampanye pakai duit berisiko besar. Kalau kalah akan semakin jatuh miskin dan bisa stres.
Modal terbesar untuk melawan caleg berduit, kata Sholeh, adalah militansi.
"Saya sadar bahwa kemampuan dana saya terbatas. Karenanya, saya menyiasati dengan mengerahkan segenap pikiran dan fisik. Saya memilih mendatangi langsung warga di rumah dan tempat mereka nongkrong," ujar Sholeh ketika ditemui Surya di warungnya di Jalan Kalikepiting, Surabaya, Selasa (4/3/2014).
Militansi ditunjukkan bapak satu anak ini lewat gerakan blusukan kampung, dan tempat-tempat warga cangkruk.
Setiap sore, sepulang dari warung, Sholeh bertemu dengan relawannya. Dia menyusun daftar kampung dan warung atau tempat cangkruk warga yang akan disasar malam harinya.
"Saya masuk ke warung, duduk mendengarkan warga, lalu mengajak diskusi. Sesekali mereka saya tawari pijat pakai alat yang saya bawa," tutur Sholeh seputar kiatnya menuju DPRD Surabaya.
Untuk media sosialisasi, Sholeh cukup menggunakan brosur paket hemat. Ia cetak sendiri brosur dengan printer butut. Brosur dibuat menggunakan kertas HVS putih yang dilipatnya menjadi dua.
Selain foto diri, brosur juga dilengkapi pengalaman kerja. Ia tidak malu memajang, meski berisi pengalaman kerja kelas rendahan, mulai dari menjadi kuli bangunan, loper koran, tukang parkir, hingga penjual kopi.
"Kalau caleg lain kan menulis pernah jabat ini, jabat itu, jadi direktur perusahaan A, B, sampai C. Kalau saya, ya apa adanya seperti ini," imbuhnya. (idl/ben/dim/st36)