Elite Anggap Rakyat sebagai Komoditas Politik
Pemilu itu sudah dianggap sebagai komoditas politik, sehingga banyak uang beredar di tengah masyarakat.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari FISIP UI Ari Junaedi menilai dalam setiap Pemilu sekarang ini, parpol dan elite partai sudah menganggap rakyat sebagai komoditas politik. Karena itu, caleg dan rakyat dalam pemilu identik dengan transaksi. Banyak uang beredar dan sampai ke tempat pemungutan suara. Celakanya lagi, hal yang sama juga berlaku bagi lembaga survei.
“Pemilu itu sudah dianggap sebagai komoditas politik, sehingga banyak uang beredar di tengah masyarakat. Bahayanya, kalau lembaga survei sebelum melakukan survei sudah memiliki persepsi untuk memenangkan partai tertentu karena sudah dipesan, ini tentu menyesatkan,” tegas Ari Junaedi dalam dialog kenegaraan “Gegap-gempita pesta demokrasi - catatan kritis pemilu 9 April 2014” di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (16/4/2014) bersama budayawan Radhar Panca Dahana, dan anggota DPD RI Farouk Muhammad.
Namun demikian menurut Ari, kalau terbukti banyak tokoh populer di DPR RI tidak terpilih lagi sebagai anggota DPR RI dalam pileg 2014 ini, itu membuktikan bahwa rakyat telah memberikan sanksi sosial politik, karena selama menjabat selama ini dinilai tidak berpihak kepada rakyat, dan apalagi terlibat korupsi. “Kalau mereka tidak terpilih berarti rakyat telah menjatuhkan sanksi politik,” ujarnya.
Juga konvensi capres Partai Demokrat (PD) kata Ari Junaedi, jika terbukti suara PD melorot dari 20 persen menjadi 10 persen, sebagai bukti akan sanksi politik rakyat, sehingga konvensi capres itu tidak lebih sebagai ‘Cikeas idol’ atau basa-basi politik para elit Demokrat saja.
“Jadi, ke depan harus dibuat pemilu itu murah, pembatasan iklan agar tidak berlebihan seperti sekarang ini. Apalagi beberapa partai mempunyai TV sendiri, maka kalau tidak dibatasi, akan terus-menerus beriklan semaunya. Itu tidak adil,” katanya.
Budayawan Radhar Panca Dahana menegaskan jika pemilu selama ini bukan gagal mencapai cita-cita demokrasi, melainkan kita sudah dikhianati oleh demokrasi yang berbiaya besar, kapitalis, dan mahal yang menghabiskan uang rakyat sampai ratusan triliun rupiah. Karena itu, sejak awal dalam politik sepuluh tahun terakhir ini sudah terjadi skandal dalam bernegara, dan skandal dalam kebudayaan bangsa ini.
“Pemilu berbiaya tinggi dengan uang rakyat sampai Rp 330 triliun itu jelas menghancurkan dan mendistorsi kekuatan kultural bangsa ini. Belum lagi biaya iklan, survei, partai, dan tim sukses lainnya. Jumlah itu bisa untuk memberi beasiswa seluruh mahasiswa Indonesia selama 40 tahun, dan akan melahirkan manusia-manusia unggul ke depan,” tegas Radhar.
Selain itu lanjut Radhar, uang pemilu itu bisa untuk menyelesaikan berbagai krisis bangsa ini termasuk kemiskinan dan kebodohan lainnya. “Kalau skandal bernegara itu diteruskan, maka kita akan impor gas, sementara Indonesia merupakan negara penghasil gas terbesar dunia. Kita kehilangan tujuh ribu triliun per tahun akibat salah transaksi pertambangan dan mineral. Jadi, kita bersama-sama ikut bertanggung jawab terhadap kehancuran bangsa ini,” tuturnya.