Banyak Indikasi Kecurangan Pemilu, KPUD Yogyakarta Harus Bersih dari Intervensi
KPUD Yogyakarta harus menjamin bahwa hasil rekapitulasi perhitungan suara di Dapil tersebut benar-benar bebas dari permainan atau intervensi
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM - KPUD Yogyakarta harus menjamin bahwa hasil rekapitulasi perhitungan suara di Dapil tersebut benar-benar bebas dari permainan atau intervensi dari pihak yang berkepentingan baik partai ataupun calegnya.
Selain itu, KPUD dan Bawaslu Yogyakarta harus menindaklanjuti laporan masyarakat atas berbagai tindak kecurangan dalam pemilu yang baru saja berlalu. Jika hal ini diabaikan, KPUD yang tidak bersih akan merembet ke berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Demikian ditegaskan oleh Pengasuh Pondok Kebangsaan “Omah Paseduluran” Yogyakarta, Rahmad Pribadi, Jumat (25/4/2014). Hal ini dikatakan terkait dengan pentingnya posisi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam percaturan politik bangsa sejak jaman penjajahan hingga saat ini.
Bagi dirinya, demikian Rahmad yang juga Caleg DPR-RI dari partai Golkar ini menjelaskan, menang atau kalah dalam pemilu adalah sebuah risiko.
Namun, kekalahan atau kemenangan harus diterima secara ksatria dan bukan terletak pada lolos tidaknya menjadi anggota legislatif dengan cara apapun. Dirinya mencium ketidakberesan dalam pemilu, sejak kampanye hingga rekapitulasi suara yang kacau di Yogyakarta.
Rahmad Pribadi yang lulusan Universitas Harvard itu menunjukkan 3 (tiga) kasus , yang bisa digunakan sebagai contoh pelaksanaan pemilu di Yogyakarta tidak baik.
“Di Gunung Kidul, sebuah mobil yang membawa atribut caleg tertangkap basah tengah membawa uang senilai Rp 500 juta dalam pecahan Rp 20.000. Namun kasus itu dianggap tidak membuktikan caleg tersebut melakukan politik uang, meskipun sebenarnya dengan logika sederhana bisa sangat mudah dijelaskan,” ujar Rahmad.
Kasus kedua, adalah Roy Suryo yang perolehan suaranya berada di bawah caleg lain dalam satu partai juga merupakan suatu keanehan. Menurutnya, sebagai seorang publik figur, seorang menteri, penduduk Jogya asli, dan sangat populer, semestinya Roy Suryo sangat mudah untuk mendapatkan suara.
Dikatakannya, “Meskipun berbeda partai, saya merasa yakin Roy Suryo, caleg nomor 1 (satu) dari Partai Demokrat harusnya lolos ke Senayan. Tetapi ternyata ia kalah dari yang nomor 4 (empat) dari partai yang sama. Tidak hanya Roy Suryo, tetapi siapapun calegnya yang dicurangi dalam rekapitulasi ini, saya tidak bisa menerima. Ini sangat mudah kok, kan bisa dilihat kembali ke Form C-1 untuk mendapatkan transparansi dalam perhitungan suara.”
Di Bantul, Rahmad menjelaskan lebih lanjut, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak mau menandatangani berita acara rekapitulasi suara. Penolakan untuk tandatangan ini, Rahmad menunjuk, sebagai indikasi kuat adanya masalah dalam rekapitulasi perhitungan suara. Demi menjaga perolehan suara tidak dimanipulasi, setiap partai pasti memiliki saksi dalam mengawal suara partainya.
“Di Yogya banyak kasus dalam pelaksanaan pemilu dan tidak hanya ketiga kasus tersebut. Sehingga demi masa depan pilpres mendatang, KPUD dan Bawaslu Yogyakarta harus benar-benar bekerja sama dalam menjamin tidak adanya permainan dalam rekapitulasi serta menegakkan aturan main yang berlaku,” ujar Rahmad.
Rekapitulasi suara di Yogyakarta, yang berdasarkan kejujuran, transparansi serta bebas dari intervensi atau permainan, menurut Rahmad, akan memberi pengaruh positif ke daerah lain dalam melakukan rekapitulasi juga.
“Ada 300 ribu mahasiwa luar daerah yang belajar di Yogyakarta. Ratusan ribu mahasiswa luar daerah itu akan menjadi komunikator sejati ke seluruh penjuru Indonesia. Jika mereka mengatakan, ikutilah Yogyakarta dalam menjaga kejujuran, transparansi dan bebas permainan dalam rekapitulasi suara, niscaya seruan ini akan bergema seluruh Indonesia,” tegas Rahmad.
Rekapitulasi di Dapil Yogyakarta disebutkan tidak berjalan secara baik dan cenderung alot. Selain karena ada masalah teknis, sebagian perolehan perhitungan suara juga terpengaruhi oleh hasil perhitungan yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei. Kekacauan terjadi, karena lembaga survei dalam quick count (hitung cepat) memaparkan hasil berbeda.