KPU Jangan Pancing SBY Terbitkan Dekrit Presiden Darurat Pemilu
Tenggat waktu rekapitulasi hasil penghitungan suara nasional Pemilu legislatif, tinggal dua hari lagi.
Penulis: Domu D. Ambarita
Editor: Gusti Sawabi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tenggat waktu rekapitulasi hasil penghitungan suara nasional Pemilu legislatif, tinggal dua hari lagi. Sesuai jadwal, KPU harus merampungkan rekapitulasi tanggal 9 Mei 2014.
Namun hingga dua hari menjelang batas akhir rekapitulasi suara nasional itu, KPU baru berhasil merekap sekitar 50 persen provinsi.
"Ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan kepolitikan nasional. Karena kalau sampai tanggal 9 tidak selesai, artinya KPU sudah melanggar UU dan bisa dipidanakan," ujar mantan politisi Partai Demokrat Ma'mun Murod kepada Tribunnews.com, Rabu (7/5/2014).
Dan andai hal itu benar, menurut penulis buku Anas Urbaningrum Tumbal Politik Cikeas itu, "Maka bisa memancing Presiden SBY untuk melakukan tindakan yang ekstrakonstitusional."
Apalagi beberapa indikasinya sudah terasa. Pertama, pernyataan pimpinan Mahkamah Konstitusi yg menyebut bahwa masalah Pemilu 2014 yang akan sampai ke MK diyakini akan berkurang jauh dibanding Pemilu 2009. Dia menilai pernyataan ini terkesan dipaksakan.
Faktanya proses rekaliptulasi hasil penghitungan suara pemilu saat ini lebih heboh daripada Pemilu 2009.
Kedua, fakta juga bahwa selalu Ketua Umum PD, SBY termasuk yang begitu "dingin" menjalin koalisi dengan partai lain.
Bandingkan dengan partai-partai lainnya yang begitu antusias dan progresif. Padahal posisi PD hanyalah partai medioker dengan perolehan suara kurang lebih 10 persen, bukan partai papan atas seperti PDIP, Golkar dan Gerindra.
Dinginnya SBY menjalin koalisi bisa menimbulkan kecurigaan terkait dengan rekapitulasi suara yg hampir dipastikan bakal molor. SBY tahu bahwa kalau KPU bakal molor melakukan rekapitulasi, melebihi tanggal 9 yang berarti sudah melanggar UU. Belum lagi kegaduhan dan kekisruhan di banyak daerah yg hingga saat ini masih berlangsung.
"Kondisi ini bisa saja memancing atau menjadi pembenaran bagi SBY untuk melalukan tindakan ekstrakonstitusional, misalnya mengeluarkan Perpu atau Dekrit Presiden," kata Ma'mun, Juru Bicara Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), ormas bentukan Anas Urbaningrum.
"Saya menduga kuat banget indikasi adanya permainan sistemik pada pemilu 2014," kata Mu'mon.
Lihatlah betapa banyak pelanggaran, dan kekeliruan sehingga pemungutan suara ulang di ribuan TPS yang tersebar pada lebih 23 provinsi.
Ingat, apa pun SBY, dia masih presiden. Dan presiden di Indonesia menyandang dua predikat skaligus: kepala negara dan kepala pemerintahan. (*)