Surat DKP Dinilai Jadi Bukti Prabowo Lakukan Perbuatan Tercela
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa mendatangi pimpinan DPR. Kedatangan itu untuk menangih janji mengenai perkembangan kasus penculikan aktivis 1998
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa mendatangi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedatangan itu untuk menangih janji mengenai perkembangan kasus penculikan aktivis 1998.
Koordinator KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Haris Azhar menilai desakan itu muncul setelah beredarnya dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pemberhentian Prabowo Subianto dan pengakuan Mayjen (Purn) Kivlan Zen.
Haris meminta DPR untuk menegur dan memanggil KPU atas beredarnya surat DKP itu. Sebab, salah satu persyaratan calon presiden tidak melakukan perbuatan tercela.
"Munculnya surat pemberhentian atas nama Prabowo, harus ditelusuri sampai sejauh mana kasus itu. Dalam situasi ini harus menegur dan memanggil KPU. Apakah itu tindakan tercela. Yang tercela siapa saja. Apakah KPU juga tercela dengan meloloskan pihak tertentu," kata Haris Azhar dalam audiensi dengan Wakil Ketua DPR Pramono Anung di ruang pimpinan DPR, Jakarta, Jumat (13/6/2014).
Untuk itu Haris meminta DPR untuk memanggil Presiden RI selaku Panglima TNI dan Panglima TNI untuk meminta klarifikasi mengenai dokumen DKP. Kemudian mendesak keduanya membuka dokumen tersebut kepada publik sebagai bagian dari pemenuhan hak korban dan keluarganya.
Sementara Ketua SETARA Institute Hendardi menilai beredarnya surat DKP itu menimbulkan kegaduhan menjelang pemilihan presiden.
"DPR harus menganggil presiden atau Panglima TNI, itu asli atau palsu harus dijelaskan, apakah benar Prabowo dipecat atau diberhentikan dengan hormat, karena rakyat memiliki pilihan sahih," ujarnya.
Menurut Hendardi, Surat DKP pemberhentian Prabowo sudah mengungkapkan bahwa Mantan Danjen Kopassus itu telah bersalah.
"Mau apa istilahnya, mau pemberhentian dengan hormat atau apa, jelas sudah dipecat dari militer, dan itu jelas karena melakukan suatu kesalahan." Kata Hendardi,
Hendardi mendapat informasi bahwa sidang DKP penuh kebimbangan karena Prabowo merupakan menantu Presiden Soeharto. "Akhirnya memilih soft diberhentikan. Tapi produk itu bertolak dari masalah. Nalar hukum Prabowo bersalah. Nalar politik karena menantu presiden," tuturnya.
Publik, kata dia, berhak mengetahui secara benar soal rekam jejak calon pemimpin yang akan dipilihnya. Apalagi, Prabowo apapun alasan pemecatannya, bisa dipastikan yang bersangkutan bersalah.
"Artinya, dia sudah melakukan suatu perbuatan tercela. Kalau orang dipecat dari dinas militer, tentu saja itu perbuatan tercela. Bagaimana logikanya itu perbuatan tidak tercela, saya enggak ngerti," tegas Hendardi.
Diketahui, salah satu syarat menjadi capres adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Syarat ini ditentukan eksplisit dalam Pasal 5 huruf i Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Dalam pasal ini disebutkan 18 poin syarat yang harus dipenuhi capres dan cawapres, salah satunya tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
Haris menambahkan adanya pengakuan Mayjen (Purn) Kivlan Zen yang mengaku mengetahui korban penculikan dibuang dimana dan punya dokumen rapat di Kostrad. Hal penting juga, kata Haris, dengan munculnya surat DKP tentang pemberhentian atas nama Prabowo dimana dalam surat tersebut juga mengungkap soal hal sama.
Sedangkan Wakil Ketua DPR Pramono Anung menilai sudah waktunya digunakan UU No 14 tahun 2008 mengenai keterbukaan informasi publik. "DKP rahasia negara atau bukan, publik bisa tahu dengan hal tersebut," katanya.
Pramono juga berjanji akan meneruskan permintaan koalisi kepada komisi terkait. "Apa yang terjadi pimpinan gelap gulita tidak tahu tentang hal tersebut. Kita akan meminta komisi terkait atau gabungan untuk menindaklanjuti hal tersebut," imbuh Pramono.