Jubir Jokowi-JK: Paparan Wiranto soal DKP ABRI Terkait Amanat Konstitusi
Hasto Kristiyanto mengingatkan bahwa keputusan DKP itu secara substantif benar bahkan diakui oleh Prabowo sendiri.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru bicara Tim Kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla, Hasto Kristiyanto, mengatakan penjelasan Jenderal (Purn) TNI Wiranto mengenai keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ABRI yang merekomendasikan pemberhentian Prabowo Subianto merupakan bagian dari tekad untuk menegaskan agar presiden terpilih benar-benar sesuai dengan amanat konstitusi.
"Salah satu perintah konstitusi terkait dengan persyaratan calon presiden adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Presiden terpilih nantinya harus mampu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Tindakan menginstruksikan penculikan pada warga negara sendiri, selain melanggar konstitusi juga tidak sejalan dengan tujuan melindungi segenap bangsa," kata Hasto, Selasa (24/6/2014).
Wakil Sekjen PDI Perjuangan ini mengingatkan bahwa keputusan DKP itu secara substantif benar bahkan diakui oleh Prabowo sendiri.
Selain itu, semua pengambil keputusan saat itu masih hidup dan mengakui kebenaran dari seluruh proses pengambilan putusan dan materi putusan itu sendiri.
Menurut Hasto keputusan itu adalah domain publik karena merupakan kelanjutan dari kejadian hilangnya orang sipil yang sudah diketahui publik. Sehingga dokumen DKP itu bukan dokumen rahasia.
"Apa yang disampaikan oleh Pak Wiranto adalah hal-hal yang normatif dan faktual. Oleh karena itu, jika ada yang bereaksi negatif terhadap apa yang disampaikan Pak Wiranto, ya sebaiknya baca ulang konstitusi kita," tegasnya.
Diketahui, hari ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memeriksa Wiranto atas pernyataannya ke publik yang menjawab sejumlah pertanyaan terkait DKP ABRI.
Wiranto sendiri, ketika diperiksa Bawaslu menegaskan, bahwa apabila Prabowo tak setuju dengan apa yang disampaikannya, sebaiknya dikonfirmasi kepada dirinya.
Polemik terkait DKP ABRI itu sendiri muncul setelah sejumlah kelompok masyarakat sipil mempermasalahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak merespons desakan agar melakukan verifikasi capres-cawapres untuk Pilpres 2014 sesuai bunyi UU.
Sebab salah satu syarat menjadi capres adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
Syarat ini ditentukan eksplisit dalam Pasal 5 huruf i Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres).
Dalam pasal itu disebutkan 18 poin syarat yang harus dipenuhi capres dan cawapres, salah satunya tidak pernah melakukan perbuatan tercela.