Menilik Presiden Pilihan Masyarakat Baduy
Seseorang dengan nada lantang mengatakan bahwa setelah Soeharto lengser, warga Baduy merasa tidak aman.
Penulis: Adi Suhendi
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, BANTEN - Suasana hening pecah dengan suara obrolan sejumlah masyarakat Baduy. Tribun yang baru sampai ke pemukiman Baduy luar, Sabtu (6/7/2014) sebelumnya bertandang ke rumah Kepala Desa Kanekes, Dainah (55).
Setelah terlibat obrolan antara Tribun dan Kepala Desa, wartawan pun pamit untuk beristirahat sejenak di rumah warga yang tidak jauh dari rumah Kepala Desa.
Suasana di Baduy memang gelap, maklum saja masyarakat tidak menggunakan listrik sebagai alat penerangan. Hanya menggunakan lampu tempel atau damar sebagai alat penerangan di rumah-rumah.
Ketika menikmati istirahat, terdengar samar-samar dari dalam rumah yang berdinding bilik, sejumlah orang berkumpul di rumah Kepala Desa Dainah membicarakan tentang pilihan terhadap calon presiden.
Rumah tempat Tribun menginap hanya berjarak 10 meter dan hanya terpisah satu rumah.
Sekitar pukul 21.00 WIB warga datang, awalnya pembicaraan tentang keluhan seorang warga mengenai rumah, kemudian setelah beberapa saat pembicaraan pun mengarah tentang hari pencoblosan presiden.
Pada dasarnya dalam pembicaraan tersebut warga Baduy jangan sampai salah memilih pemimpin supaya kehidupan warga Baduy tetap aman dalam melaksanakan aktivitas seperti berladang maupun berdagang.
Seseorang dengan nada lantang mengatakan bahwa setelah Soeharto lengser, warga Baduy merasa tidak aman.
Hutan adat banyak dirambah orang-orang tidak bertanggungjawab, warga menjadi takut ke ladang karena merasa tidak aman, dan dalam melaksanakan aktivitas perdagangan pun warga Baduy sering dipalak preman-preman.
Tiga presiden setelah Soeharto dianggap telah gagal menjaga ketentraman masyarakat Baduy. Baru mulai merasa aman kembali setelah era pemerintahan SBY.
"Saya bukan kampanye atau mengajak, tapi ini demokratis, pokoknya saya pilih lagi dari TNI," ujar seseorang yang diamini warga lainnya dalam perbincangan tersebut, Sabtu (6/7/2014).
"Saya juga setuju," sahut seseorang.
Pembicaraan dalam penerangan satu lampu minyak atau damar begitu alot, tetapi masyarakat Baduy secara keseluruhan tidak menentukan sikap mereka mengembalikan kepada nurani orang per orang.
Pembicaraan pun juga terdengar di teras-teras rumah mengenai dua pasangan calon presiden yang saat ini bertarung.
Masyarakat Baduy di pagi hari, Minggu (7/7/2014) duduk di teras terdengar dari teras-teras rumah tempat orang-orang Baduy berkumpul membicarakan tentang Pilpres.
Kepala Desa dalam perbincangan dengan Tribun mengungkapkan bahwa bagi masyarakat Baduy tidak penting siapa yang akan menjadi presiden. Penting yang terpilih nanti mampu memberikan rasa aman untuk masyarakat Baduy.
"Kita tidak butuh pembangunan fisik yang terpenting keamanan. Kalau kesejahteraan kita bisa mencari mencari sendiri yang penting aman, sehingga masyarakat tidak malas bekerja di ladang. Kalau tidak aman jadi pada takut untuk bekerja pun," ungkapnya.
Memang di Desa Kanekes begitu sangat menghargai alam warganya dilarang menggunakan kendaraan bermotor karena dianggap bisa merusak jalan.
Jalan pun hanya jalan setapak, bukan tidak mau dibangun infrastruktur jalan yang baik dengan tembok atau aspal, tetapi dianggap bisa menciptakan kerusakan bagi alam.
"Kalau mobil masuk, motor masuk nanti bisa merusak alam," ucapnya.
Salman (30) seorang warga Baduy menganggap bahwa alam merupakan urat kehidupan, bila alam rusak, kehidupan masyarakat pun akan terganggu. "Itu kan uratnya, kalau kita saja uratnya rusak maka akan bokbrok," ujarnya.
Dalam Pemilu, masyarakat Baduy memang sudah memiliki kesadaran menggunakan hak politiknya.
Dikatakan Salman, saat pemilu legislatif meski hanya datang beberapa calon legislatif ke wilayahnya tetapi suara yang diberikan warga merata ke semua partai.
"Aneh juga, semua partai di sini dapat suara," ujarnya.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat dalam masyarakat Baduy, tetapi mereka tidak menjadikan perbedaan sebagai bahan perselisihan.
"Kalau ada perselisihan cukup diselesaikan kalau istilah kami 15 menit di kobong (bilik suara)," kata Daniah.