KIP Minta Lembaga Survei yang Lansir Quick Count Buka Sumber Pendanaan
Menurut Abdul, itu penting dilakukan untuk mengetahui kredibilitas dan netralitas lembaga-lembaga survei tersebut.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk meredakan kebingungan publik terhadap hasil hitung cepat (quick count) berbagai lembaga survei, Komisi Informasi Pusat (KIP) meminta seluruh lembaga survei membuka data-data mengenai hasil rilis tersebut.
"Karena sudah terlibat di dalam proses penyelenggaraan Pemilu, maka seluruh lembaga survei harus segera membuka tentang asal usul dana yang digunakan untuk survei dan metodologinya, termasuk di dalamnya jumlah sampel, lokasi pengambilan sampel, teknik pengambilan sampel, dan teknik analisis," ujar Ketua KIP, Abdulhamid Dipopramono, di Bawaslu, Jakarta, Kamis (10/7/2014).
Menurut Abdul, itu penting dilakukan untuk mengetahui kredibilitas dan netralitas lembaga-lembaga survei tersebut.
Dalam pandangannya, Abdul mengatakan pihaknya menilai lembaga-lembaga survei tersebut terbagi menjadi dua kelompok yang hasilnya saling berlawanan.
Sebagian dengan hasil kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagian lagi dengan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kebingungan masyarakat, kata dia, semakin bertambah disebabkan pada umumnya hasil hitung cepat mirip-mirip atau selisihnya sedikit dan tidak ada hasil berlawanan secara ekstrim.
"Tetapi pada Pilpres 2014 ini ada kenyataan bahwa hasil-hasilnya berlawanan dan untuk masing-masing versi jumlah lembaga surveinya lebih dari satu lembaga. Hal ini sudah membingungkan dan meresahkan rakyat.
Akibatnya, lanjut Abdul, hasil hitung cepat tersebut digunakan oleh masing-masing pasangan calon untuk mengklaim dirinya sebagai pemenang Pemilu.
Abdul juga menilai bahwa hasil rilis hitung cepat lembaga survei tersebut menyebabkan terjadinya kondisi di luar ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengharuskan informasi publik yang mengharuskan informasi publik bersifat benar, akurat, dan tidak menyesatkan.
"Semua pihak harus sabar menunggu sampai pengumuman resmi dari KPU sebagai lembaga yang berwenang untuk itu," tukas Abdul.