Problematika Sekolah Gratis dan Iuran Komite yang Disebut Sumbangan Berjangka
Gaung sekolah gratis begitu menggema di Sumsel sejak sembilan tahun terakhir, mulai dari jenjang pendidikan SD,SMP, dan SMA. Bahkan dijadikan program
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Gaung sekolah gratis begitu menggema di Sumsel sejak sembilan tahun terakhir, mulai dari jenjang pendidikan SD,SMP, dan SMA. Bahkan dijadikan program nasional, bersamaan dengan peluncuran program dana BOS (Biaya Operasional Sekolah).
Namun sejak 2017, gema sekolah gratis itu makin redup, terutama di jenjang pendidikan SMA/SMK. Ironisnya, fakta itu seiring berpindahnya pengelolaan SMA dari pemkab/pemkot ke pemprov.
Baca: Ketua PBNU: Nobar Film G30 S PKI Tidak Perlu
Bahkan sejak enam bulan terakhir, dana Pendidikan Sekolah Gratis (PSG) yang selama ini digelontorkan Pemprov Sumsel belum cair.
Imbasnya, untuk menutupi kebutuhan sekolah, seluruh Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) memungut bayaran.
Dari penelusuran Sripo, besarnya uang komite yang dipungut dari wali siswa melalui rapat komite bervariasi. Antara satu sekolah dengan sekolah lainnya besarannya berbeda.
Jika tahun-tahun sebelumnya yang boleh memungut biaya hanya SMA- SMK berlabel unggulan, kini sekolah biasa (nonunggulan) pun dibolehkan memungut biaya, dengan alasan untuk keperluan proses belajar mengajar.
Di Kota Palembang misalnya, sejumlah SMA-SMK negeri nonunggulan sudah memungut biaya, dengan alasan pihak sekolah bervariasi.
Pungutan sekolah itu umumnya mendapat keluhan para siswa dan orangtua, yang merasa keberatan karena masih mengeluarkan biaya untuk sekolah.
Baca: Marak Kepala Daerah Diciduk KPK, Fungsi Irjen agar Dipisah dari Pemda
Biaya tersebut masih disebut SPP dan harus dibayar setiap bulan dengan besaran yang sama hingga tamat.
Seperti di jenjang SMA/SMK ini misalnya.
Elan, salah satu siswa kelas XI di salah satu SMKN di Jl Demang ini mengaku sejak awal sekolah ia terus membayar SPP sebesar Rp 150 ribu.
Anak petani cabai asal Jejawi OKI ini sempat menanyakan ke pihak sekolah, kenapa masih bayar SPP padahal sekolah sudah gratis.
PSG Diperuntukkan Bagi Siswa Miskin.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Sumsel, Drs Widodo MPd mengatakan, PSG memang tetap berjalan seperti biasa.
Namun ada beberapa pemahaman yang harus dimengerti sekolah maupun masyarakat.
Karena proses pembayaran iuran sekolah yang selama ini dilakukan merupakan sumbangan yang dilakukan berjangka, bukan iuran sekolah.
Menurutnya, tidak mungkin gratis disini dipukul rata untuk seluruh siswa.
Bagi siswa yang mampu atau bisa dikatakan dari keluarga kaya sudah sepantasnya memberikan sumbangan ke sekolah demi menerima hak fasilitas yang memadai.
"Sementara bagi siswa prasejahtera (miskin) tidak dipaksa untuk membayar. Jika memang tidak sanggup ya mau bagaimana lagi. Cukup berikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau surat keterangan tidak mamou ke sekolah sebagai buktinya," ujarnya.
PSG sendiri harus dimengerti oleh masyarakat, karena program ini memberikan kesempatan bagi seluruh anak di Sumsel untuk mengenyam bangku pendidikan.
Artinya, sangat wajar jika sekolah meminta sumbangan guna menambah fasikitas bagi siswa itu sendiri.
"Namun komite sekolah tidak boleh memaksakan kepada siswa miskin. Jika tak mampu bayar ya jangan dipaksa." (*)