Prasasti Salimar Menjadi Petunjuk Keberadaan Hutan Kuno Dari Prambanan ke Kulon Progo
Lima buah prasasti berbentuk lingga semu (pseudo lingga) berbahan batu andesit ditemukan di empat lokasi.
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Lima buah prasasti berbentuk lingga semu (pseudo lingga) berbahan batu andesit ditemukan di Prambanan (Sleman), Nanggulan (Kulonprogo), Demangan dan Papringan (Sleman).
Batu-batu itu merupakan patok atau tanda batas Hutan Salimar.
Patok batas hutan bertulis itu rupanya menguak banyak misteri kehidupan Jawa Kuno. Karena disebut nama itu, patok batas bertulis itu disebut Prasasti Salimar.
Jumlah yang ditemukan ada 6 buah. Bentuknya sama, pseudo lingga.
Dua prasasti Salimar (I & II) disimpan di Museum Nasional Jakarta. Tiga lainnya (IV, V, VI) jadi koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY di Bogem, Kalasan.
Satu patok batas lagi (Salimar III), tak diketahui keberadaannya. Pernah dibaca sejarahwan WF Stutterheim sesudah ditemukan dan dibawa ke Jakarta, tapi setelah itu lenyap. Kemungkinan besar disimpan kolektor.
Patok batas lahan itu secara jelas menunjukkan pada abad 8 atau 9 Masehi, ternyata sudah ada garis lurus faktual yang menghubungkan wilayah geografis dari Prambanan di timur (Sleman) hingga Nanggulan di barat (Kulonprogo).
Sekarang, jalur itu kurang lebih sejajar jalan raya mulai Prambanan. Seterusnya ke Kalasan, Janti, lurus terus ke barat melewati Jalan Laksda Adisucipto, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Sudirman, Jalan Diponegoro, Jalan Kyai Mojo, berlanjut Jalan Godean hingga Pasar Nanggulan di sebelah barat Kali Progo.
Dari lima prasati yang ditemukan, tiga di antaranya ditemukan di wilayah yang berdekatan, yaitu di Demangan dan Papringan, Kelurahan Caturtunggal, Depok, Sleman. Prasasti Salimar IV ditemukan di lahan yang kini berdiri bangunan pastoran Kolese De Britto.
Epigraf senior Dr Riboet Darmosutopo meyakini di area itulah dulu ditanam empat patok batas hutan Salimar, sekaligus memisahkan dua desa kuno besar yaitu Desa Kandang di timur dan Desa Pakuwangi di sebelah barat.
Dua patok lain masing-masing ditanam di Nanggulan dan Prambanan. Jadi bisa dibayangkan betapa luas hutan Salimar yang ditetapkan sebagai sima atau tanah perdikan pada masa itu. Riboet meyakini patok batas masih in situ (di lokasi asli) saat ditemukan.
Bunyi dalam prasasti Salimar IV (terjemahan) yang menyebut nama Salimar adalah sebagai berikut.
"Sang Pamgat Balakas (Pu Balahara) menetapkan perdikan hutan Salimar."
Penetapan sima itu terjadi pada 10 Oktober 880 Masehi.
"Saya yakin masih in situ. Jika bergeser pun tidak akan jauh. Bergeser karena faktor alam. Mungkin banjir lahar dari Merapi," kata epigraf bersahaja yang kini usianya 83 tahun. Ia sudah pensiun mengajar di FIB UGM.
Prasasti Salimar IV secara khusus menjadi penelitian Riboet Darmosutopo saat merengkuh gelar sarjana dari Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi UGM pada 1971. Karena itu ia bisa bercerita banyak dan detail tentang isi prasasti ini.
"Kita harus tahu betapa luar biasanya leluhur kita masa itu. Kehidupan sudah berlangsung tertib, rukun, multi kultur, multi etnis, dan pesan itu tersampaikan ke kita lewat prasasti-prasasti ini," kata pria kelahiran Baciro pada 1935 ini. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Petunjuk Hutan Kuno yang Membentang dari Prambanan Hingga ke Kulon Progo
Baca: Bertulisan Mantra Berbahan Timah, Prasasti Logam Abad ke 14 Pertama Ditemukan di Sumbagsel
Baca: Keluarga Minta Penghormatan Kepada Korban Jatuhnya Pesawat Lion Air JT 610 dalam Bentuk Prasasti