Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mengenal Lebih Jauh KBBI, Dari Sejarah Sampai Proses Masuknya Sebuah Kata

Tanpa disadari banyak orang, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) telah memiliki sejarah perkembangan yang panjang sejak bahasa Indonesia resmi digunak

Editor: Content Writer
zoom-in Mengenal Lebih Jauh KBBI, Dari Sejarah Sampai Proses Masuknya Sebuah Kata
Ist
KBBI 

Lantas seperti apa sebuah kata bisa masuk ke dalam KBBI? Ternyata untuk menjadi ‘warga’ KBBI, sebuah kata harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia secara sematis, leksikal, fonetis, pragmatis, dan penggunaan (usage). Persyaratan tersebut diwakili oleh hal berikut, seperti:

Unik

Kata yang diusulkan, baik berasal dari bahasa daerah atau asing, harus memiliki makna yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut akan berfungsi menutup rumpang, kekosongan makna dalam bahasa Indonesia. Contohnya tinggimini, yaitu sebuah tradisi beberapa suku di Papua, seperti Muyu dan Dani berupa pemotongan jari tangan untuk menunjukkan kekecewaan atau duka mendalam atas meninggalnya salah satu anggota keluarga yang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan.

Eufonik (sedap didengar)

Kata yang disusulkan tidak mengandung bunyi yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia atau dengan kata lain sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia. Persyaratan ini dimaksudkan agar kata tersebut mudah dilafalkan oleh penutur bahasa Indonesia dengan beragam latar bahasa ibu, contohnya akhiran /g/ dalam bahasa Betawi/Sunda/Jawa menjadi /k/ dalam bahasa Idonesia atau fonem /eu/ dalam bahasa Sunda menjadi /e/ dalam bahasa Indonesia.

ojeg  > ojek

keukeuh > kekeh

Berita Rekomendasi

Seturut kaidah bahasa Indonesia. Kata tersebut dapat dibentuk dan membentuk kata lain dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan.

kundur > (ter)kunduri

Tidak Berkonotasi Negatif

Kata yang memiliki konotasi negatif tidak dianjurkan masuk karena kemungkinan tidak berterima di kalangan pengguna tinggi, misalnya beberapa kata yang memiliki makna sama yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Dari beberapa kata tersebut, yang akan dipilih untuk masuk ke dalam KBBI adalah kata yang memiliki konotasi lebih positif.

Kata lokalisasi dan pelokalan, misalnya, memiliki makna sama. Bentuk terakhir lebih dianjurkan karena memiliki konotasi yang lebih positif. Konotasi tersebut dapat dilihat dari sanding kata yang mengikuti setiap kata tersebut. Contoh dari korpus Wortschatz berikut dapat menjelaskan hal tersebut.

Pelokalan  Pelokalan
Pelokalan
Lokalisasi Lokalisasi Lokalisasi
Lokalisasi

Kerap Dipakai

Kekerapan pemakaian sebuah kata diukur menggunakan frekuensi (frequence) dan julat (range). Frekuensi adalah kekerapan kemunculan sebuah kata dalam korpus, sedangkan julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah.

Sebuah kata dianggap kerap pakai kalau frekuensi kemunculannya tinggi dan wilayah kemunculannya juga tersebar secara luas, contohnya kata bobotoh yang ketersebaran penggunaannya meluas di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi serta frekuensi kemunculannya juga tinggi. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa laman seperti Googletrends dan Google search.

Julat Julat Julat
Julat Jula
Julat
Frekuensi
Frekuensi (Ist)
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas