Lindungi Hasil Riset dan Penelitian Kampus Melalui Pembentukan Badan Perlindungan HAKI
Selain mendorong pendirian sentra HAKI, Lily juga mendorong akademisi-peneliti untuk melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dan disiplin ilmu
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dan akademisi di tiap kampus diminta membentuk badan perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI) yang sesuai Undang-undang.
Hal tersebut dilakukan demi melindungi hasil karya riset dan penelitian di kampus-kampus.
“Perguruan tinggi dan lembaga litbang itu wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai UU 18/2002 pasal 18 ayat 3,"ujar Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, Prof Lily Surraya Eka Putri dalam pernyataannya kepada Tribun, Senin(30/11/2020).
Selain mendorong pendirian sentra HAKI, Lily juga mendorong akademisi-peneliti untuk melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dan disiplin ilmu.
Baik dengan pihak industri, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Baca juga: Penelitian Ahli Genetika Temukan Fakta Baru, Mutasi Virus Covid-19 Tak Percepat Penularan
Apalagi, berdasarkan agenda riset nasional 2020-2024, pemerintah saat ini sangat terbuka dan mendukung terhadap berbagai kegiatan riset dan inovasi.
“Dengan kondisi yang semakin berkembang dan kompetitif, mendatang harusnya riset itu berbasis standar biaya keluaran dan menuju paten. Ini sebenarnya sudah didukung oleh UU Cipta Kerja,” kata Lily.
Lily juga menyoroti dua undang-undang penting yang berubah dalam UU Cipta Kerja. Yakni UU 13/2016 tentan Paten dan UU 20/2016 tentang Merek. Dalam UU Cipta Kerja, lanjut Lily, tekait paten dan merek lebih dimudahkan dalam proses mengurusnya.
“Prinsipnya, aturan paten dan merek (dalam UU Cipta Kerja) lebih dimudahkan. Ada 5 aturan yang diubah, yang prinsipnya ada kegunaan praktis,” imbuh lulusan University of New South Wales Australia ini.
Baca juga: Kemendikbud Beberkan Empat Prinsip Kampus Bebas Kekerasan Seksual
Lebih jauh Lily menerangkan, bahwa prinsip itu mengandaikan aktivitas riset dan inovasi harus berkolaborasi dengan dunia industri.
Kemudian dari sisi waktu pengurusan izin paten dalam UU Cipta Kerja jauh lebih singkat.
“Pengalaman saya dengan rekan peneliti, untuk urus paten sederhana itu sangat lama sekali.
Tapi dengan adanya perubahan ini (UU Cipta Kerja) paling lama hanya enam bulan dari permohonan sampai substansi, dan menteri harus memutuskan itu,” ungkap Lily.
Lily lalu menyimpulkan, perubahan itu jauh lebih memudahkan untuk komersialisasi dan hilirisasi hasil penelitian perguruna tinggi dan akan berimplikasi positif pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).