Seleksi Camaba Azhar Mesir Ditanyakan DPR RI, Menag Jawab Ada Masalah Imigrasi dan Isu Khilafah
Legislator dari Partai Gerindra itu menanyakan dasar seleksi camaba yang dilakukan Kemenag.
Penulis: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi VIII DPR RI, Jeffry Romdoni, mempertanyakan polemik seleksi calon mahasiswa baru (Camaba) yang akan kuliah di Al-Azhar, Mesir, kepada Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama, pada Senin (31/5/2021).
"Banyak aduan ke saya, terkait dengan seleksi calon mahasiswa baru Al-Azhar, Kairo, yang tahun ini dilaksanakan oleh Kementerian Agama dan hanya meloloskan seribuan lebih calon mahasiswa baru dari total pendaftar lima ribuan. Banyak aspirasi dan pertanyaan kepada saya, jadi saya ingin meminta penjelasan kepada Pak Menteri terkait hal tersebut," kata Jeffry.
Legislator dari Partai Gerindra itu menanyakan dasar seleksi camaba yang dilakukan Kemenag. Menurutnya, jika untuk kuota beasiswa yang hanya untuk 20 calon mahasiswa baru dilakukan seleksi bisa dimafhumi. Tapi untuk yang biaya mandiri dasarnya apa?
"Nah ini kok di Kementerian Agama harus ada seleksi dulu ya? Dan juga pertanyaan terkait ini, kalau yang lolos seleksi dari Kemenag ini, apakah langsung diterima di Al-Azhar? Dan juga, bagaimana nasib calon mahasiswa baru ini yang tidak lolos seleksi Kemenag? Apakah tidak bisa mendaftar lagi langsung di Al-Azhar?," tanya Jefry.
Menteri Agama yang biasa disebut Gus Yaqut tersebut menyampaikan jawaban atas pertanyaan Jeffry dengan pemaparan fakta-fakta kondisi mahasiwa Al-Azhar Mesir mulai dari masalah ke imigrasian.
"Saya akan sampaikan data, supaya tidak muncul miskonsepsi di atas apa pilihan Kementerian Agama dalam memperlakukan calon-calon mahasiswa yang akan pergi ke Mesir. Pada tahun 2020, itu ada 8.387 mahasiswa Indonesia belajar di Mesir," kata Gus Yaqut.
"Ini data dari KBRI tahun 2021. Banyak muncul persoalan di sana, sebagaimana disampaikan KBRI kita di Mesir kepada kami, kebetulan kita juga komunikasi terkait dengan ini. Jadi ada masalah mulai soal imigrasi, sosial, kesehatan, lalu ada akademik, terutama akademik. Banyak mahasiswa kita yang di sana tidak menyelesaikan kuliahnya ketika sampai sana," tambah Menag.
Gus Yaqut juga menyampaikan sebuah fakta kondisi perbedaan kuliah di Al Azhar Mesir dengan di Perguruan Tinggi di Indonesia.
"Jadi begini, sistem pendidikan di Mesir ini berbeda memang. Kalau di Indonesia ini masih perlu absen kuliah. Kalau di Mesir itu bebas-bebas aja, lu mau absen mau kagak terserah, yang penting ketika ujian datang, kerjakan, dan dianggap lulus, gitu saja. Nah yang membuat anak-anak kita di sana ini terlena, sehingga tidak selesai masa belajarnya dan overstay.
Dan ini problem buat kita, yang overstay ini bagaimana?," kata Gus Yaqut.
Dua masalah ini kemudian memunculkan beberapa problem sosial saat mahasiswa Indonesia bergaul dengan banyak orang di Mesir terutama bagi mahasiswa yang tidak tinggal di asrama.
"Pergaulannya itu di sana anak-anak kita ini, ya karena tidak ada sistem asrama gitu, atau kalau ada asrama tapi terbatas di Al-Azhar itu, sehingga tidak bisa menampung semua mahasiswa. Banyak anak-anak kita itu yang mencari tempat di luar, di luar Al-Azhar itu.
Al-Azhar itu kalau dilihat itu kan satu lingkungan. Nah karena asrama tidak mencukupi memilih untuk di luar dan mereka bergaul dengan banyak orang di sana," ujar Gus Yaqut.
Lalu dari pergaulan ini memunculkan masalah serius lainnya yang cukup serius yang akan berpengaruh pada idelogi kebangsaan mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir.
"Dan, sialnya, banyak anak-anak kita ini yang bergaul dengan mereka yang memiliki pemahaman kebangsaan yang berbeda dengan kita. Misalnya, masih memperjuangkan khilafah gitu. Sementara di Indonesia kan sudah tidak mungkin khilafah itu. Itu soal yang paling mengemuka ya terkait dengan mahasiswa kita di Kairo," kata Yaqut.
Menurut Yaqut, Kementerian Agama, melakukan seleksi tidak sendirian tapi bekerja sama dengan banyak pihak agar seleksi yang dilakukan benar-benar bisa obyektif.
"Sesuai dengan apa yang dibutuhkan karena, terus terang, Pak Jefri, kita ini lebih senang mengejar kualitas daripada kuantitas. Kalau kita dorong banyak caolon mahasiswa di sana tapi yang pulang, yang jadi sarjana nggak banyak ya buat apa. Yang penting kualitas dan sampai di sana mereka menyelesaikan studi dan membanggakan," kata Yaqut.
Pilihan Kemenag untuk melakukan seleksi terhadap Camaba Mesir dijelaskannya sudah melalui proses diskusi yang panjang, baik dengan Kemenlu, dengan Konsorsium Pusat Bahasa dan lain-lain.
"Jadi, Kemenlu melalui KBRI juga merekomendasikan passing grade, daya tampung asrama, graduation rate, kapasitas pembinaan, monitoring dan evaluasi sebagai pertimbangan. Jadi kira-kira meskipun Al-Azhar membuka siapa saja untuk bisa belajar, kita sekali lagi, melalui rekomendasi Kemenlu, untuk mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Lah ini saya kira sangat penting untuk kita ketahui bersama," pungkas Yaqut.