Bahasa Sunda: Sejarah, Jenis Huruf, Perkembangan, dan Pengaruh Bahasa Lain terhadap Bahasa Sunda
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda untuk keperluan komunikasi dalam kehidupan mereka.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Nuryanti
"Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisesa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala d esa. Ayama nu pandeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana."
Artinya, inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Eyang Prabu Adipati Wastukentjana yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia.
Adanya prasasti tersebut membuktikan Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu.
Mungkin Bahasa Kweun Lun, yang disebut dalam sebuah berita di Cina, yang digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), meski tidak diketahui wujudnya.
1. Penggunaan Bahasa Sunda Kuno
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, kemudian banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah.
Naskah kuno dalam Bahasa Sunda kuno ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) dan digunakan dari zaman abad ke-15 sampai dengan abad ke-18.
Naskah yang ditulis di media daun lontar, enau, dll dapat menjadi lebih panjang, karena lebih mudah dari pada prasasti.
Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya juga lebih jelas.
Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah berbentuk prosa, sebagai berikut:
1. Prosa Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518)
"Jaga rang tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu."
Artinya, hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa.
2. Contoh lainnya dalam bentuk puisi terdapat pada Kropak 408 berjudul Swaka Darma (abad ke-16)