Sekolah Perlu Terapkan Teknologi Digital Pencegah Plagiarisme di Kalangan Siswa
Sebagian siswa masih memiliki pemahaman yang salah tentang apa yang dipahami sebagai pelanggaran akademik.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak pandemi, dunia pendidikan di Tanah Air makin luas mengadopsi teknologi digital untuk mendukung pembelajaran siswa.
Satu di antaranya adalah adopsi teknologi pencegah praktik plagiarisme siswa di lingkungan sekolah.
Teknologi ini dikenalkan oleh Turnitin dan dirancang membantu guru dan pengajar dalam mendeteksi contoh plagiarisme dan beragam pelanggaran akademik.
“Teknologi membantu memberdayakan pengajar untuk membantu siswa dalam pencegahan penyimpangan yang mengarah kepada pelanggaran kode etik untuk mencapai hasil yang jujur dan adil," ujar Yovita, Senior Manager Customer Growth, Southeast Asia, Turnitin dalam keterangannya, Rabu (12/10/2022).
Yovita membagikan beberapa cara agar integritas akademik tetap terjaga di tengah keharusan teknologi dalam dunia pendidikan bertumbuh.
Baca juga: Adopsi Teknologi Digital, Cloudschool Efisienkan Sistem Administrasi Sekolah
Karena pembelajaran online dan hybrid telah menjadi bagian dari sebuah norma, menjaga integritas akademik menjadi perhatian khusus bagi pendidik dalam menjalankan proses belajar dan merancang kurikulum.
"Misalnya, studi tentang metode yang banyak digunakan sarjana dalam menyontek, hal ini memperlihatkan begitu pentingnya ketersediaan pengajar untuk mengurangi adanya kesenjangan antara pengajar dan murid di era online," ujarnya.
Dia mengatakan, sebagian siswa masih memiliki pemahaman yang salah tentang apa yang dipahami sebagai pelanggaran akademik.
Menurut sebuah studi tahun 2022 yang melibatkan 122 SMA di Indonesia, sebagian besar siswa berpikir penegertian menyontek adalah masih terbatas pada penyalinan langsung jawaban yang tepat, namun mengabaikan bentuk-bentuk pelanggaran lainnya sebagai ketidakjujuran akademik.
Dia mengatakan, dengan memupuk siswa untuk berpikir orisinal dengan cara membuat kebijakan dalam proses pendidikan yang mengarah kepada integritas akademik seperti mensosialisasikan kesadaran akan resiko sebuah pelanggaran akademik yang dapat berimbas langsung terhadap pribadi siswa.
Selain itu, teknologi bisa menjadi alat bantu untuk mengetahui potensi pelanggaran akademik dengan mencari kesamaan dalam karya tulis.
Hal ini membantu siswa mengurangi proses salin tempel atau copy paste misalnya melalui penggunaan perangkat lunak yang dapat mendorong dan membantu terwujudnya integritas akademik bagi siswa.
"Sudah seharusnya institusi Pendidikan memasukkan teknologi ini ke dalam alur kerja mereka, selain itu dengan sistem ini juga dapat membantu siswa mengembangkan nilai-nilai dan praktik pemikiran kritis, orisinal dan pengembangan ide-ide yang lebih berintelektual," ujarnya.
Dia menambahkan, penggunaan teknologi atau alat yang dapat membantu pendidik menjunjung tinggi integritas akademik juga dapat memotivasi peserta didik untuk mengembangkan cara belajar dan menulis tugas yang lebih produktif.
Yovita menambahkan, terjadinya plagiarism dan krisis moral di dunia akademis dapat terjadi sejak pendidikan dini. Namun pendidikan sekolah menengah adalah pengantar bagi siswa untuk melatih mereka mulai menulis karya akademik.
Menurutnya terjadinya plagiarsme bisa terjadi ketika siswa mendapatkan tugas dari guru lalu mencoba mencari ide-ide akademis untuk menunjang tugas menulis mereka.
“Jika siswa tidak mendapatkan pijakan yang kuat, hal itu dapat menjadi efek domino ketika mereka memasuki pendidikan tinggi,” terang Yovita.
Karena itu, untuk mendukung masa depan agenda pendidikan Indonesia, sangat diperlukan kebijakan yang mengatur peningkatan keterampilan teknis pendidik Indonesia sekaligus membekali institusi dengan alat digital akan diperlukan untuk membantu melindungi dari berbagai bentuk plagiarisme yang mengancam integritas akademik.