Membangun optimisme di Sekolah Tapal Batas
Bagi anak-anak TKI, karena menyandang status bukan warga Malaysia, membuat mereka tidak berhak memperoleh pendidikan di negeri jiran tersebut.
Editor: Content Writer
Bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tinggal di perbatasan negara, bersekolah membutuhkan perjuangan dan keberanian tersendiri. Harus siap melalui pemeriksaan pasukan penjaga perbatasan di bawah kokangan senjata. Tanpa ijin, akan dipenjara selama 2 hari, karena melanggar batas negara. Setelah lolos pemeriksaan, harus menempuh perjalanan 4 Km dengan berjalan kaki sekitar 2 jam. Mereka pantang menyerah dan tetap optimis, Sekolah Tapal Batas, harapan satu-satunya bagi masa depan mereka.
Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, merupakan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Pulau Sebatik terbagi dua negara, bagian utara merupakan wilayah Malaysia, sedangkan sebelah selatan merupakan bagian Republik Indonesia.
Akses ke Pulau Sebatik cukup sulit, selain helikopter, hanya bisa dijangkau dengan angkutan laut dari Nunukan atau Malaysia. Letak geografis, yang sulit itu menjadi kendala bagi pendidikan anak-anak di Sebatik.
Di tambah lagi, bagi anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI), yang bekerja di Malaysia, karena menyandang status bukan warga negara Malaysia, membuat mereka tidak berhak memperoleh pendidikan di negeri jiran tersebut.
Ketidakpastian pendidikan bagi anak pekerja Indonesia itu membangkitkan kepedulian dari seorang bidan, Hj Suraidah S, SKM. Suraidah alias Bu Bidan memang tidak asing bagi masyarakat setempat.
"Perjuangan agar anak dapat sekolah di sini sungguh luar biasa. Mereka tidak mengenal lagu Indonesia Raya, tidak mengetahui betapa besar dan luasnya bangsa kita ini, sehingga saya berusaha bagaimana caranya agar mereka mencintai negaranya ini, mengenal Indonesia, dan juga Pancasila," ujar wanita berusia 65 tahun tersebut.
Pensiunan dosen Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan itu memang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Dia rela menanggalkan profesinya sebagai dosen aparatur sipil negara (ASN) di Makassar, demi mewujudkan mimpi anak-anak di perbatasan negara, Sebatik.
Didukung Camat Sebatik Tengah, para relawan, dan Yayasan Ar-Rasyid, pada 2014, Bu Bidan mendirikan Sekolah Tapal Batas di Desa Sungai Limau.
"Sekolah kolong", begitu orang biasa menyebutnya, karena memang kegiatan belajar dan mengajarnya dilakukan di kolong bangunan rumah.
Suraidah, yang memiliki latar belakang master kesehatan dari lembaga pendidikan di Thailand, memulai perjuangannya di Sebatik dengan membuka praktik kebidanan di tempat indekosnya.
Tempat tinggal Bu Bidan, yang hanya beberapa ratus meter dari perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik, memungkinkannya banyak berinteraksi dengan TKI.
Semangat Pantang Menyerah
Untuk meyakinkan anak-anak belajar di Sekolah Tapal Batas, para guru dan sukarelawan mendatangi para calon muridnya di kebun-kebun sawit di Malaysia.
Meyakinkan calon orang tua murid, yang mayoritas buruh di perkebunan kelapa sawit Malaysia, bukanlah pekerjaan mudah. Banyak orang tua tidak mengizinkan anaknya menyeberangi perbatasan negara untuk menuju sekolah yang berjarak sekitar empat km dari tempat tinggal mereka atau menghabiskan waktu dua jam dengan berjalan kaki.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.