Tertegun di Bawah Patung Madiba
RENTANG waktu yang berbeda lima jam ternyata jauh menantang ketimbang berselisih 12 jam. Itulah yang tengah saya alami saat memberikan informasi terbaik bagi Anda, pembaca di Indonesia. Kondisi cuaca yang semakin dingin memberi tantangan tambahan.
Editor: Iwan Apriansyah
RENTANG waktu yang berbeda lima jam ternyata jauh menantang ketimbang berselisih 12 jam. Itulah yang tengah saya alami saat memberikan informasi terbaik bagi Anda, pembaca di Indonesia. Kondisi cuaca yang semakin dingin memberi tantangan tambahan.
Maklum, sebagai warga tropis, merasakan masa winter jelas berbeda ketika turun hujan di Bandung, Puncak Pass Bogor ataupun daerah tinggi lainnya di pulau Jawa. Saat tulisan ini dibuat, tepat pukul 23.00 waktu Afrika Selatan (Afsel) atau pukul 04.00 dinihari WIB, suhu sudah drop sampai minus tiga derajad!
Tak terbayangkan lagi kondisi kulit tropis yang harus berhadapan dengan situasi cukup ekstrem tersebut. Berada di ruang berpendingin udara saat di Jakarta dalam suhu 16 derajad Celcius saja kadang sudah membuat menggigil, apalagi sekarang di bawah nol derajad, sesuatu yang sangat ekstrem ketika saya berangkat dari Jakarta.
Kadang saya tertegun dan berpikir, bagaimana seandainya Jakarta memiliki musim seperti di Afsel, mungkin saja kota sang ibukota sudah tak sanggup lagi menerima banyak manusia yang berdatangan jika musim dingin tiba.
Kadang saya juga tertegun dan berpikir, bagaimana caranya di Indonesia, khususnya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Makassar, Pekanbaru, Batam sampai Manado bisa membangun dengan jelas dan bertahap, sehingga tak merusak tatanan lingkungan yang menjadi penyeimbang kita semua.
Kadang saya tertegun dan berpikir, mungkin ketegasan yang tidak manusiawi perlu sesekali diberlakukan demi keberlangsungan anak cucu kita. Di Afsel misalnya, hanya untuk menambah ruangan atau bangunan di rumah kita sendiri saja, harus mendapat persetujuan dari para tetangga plus sebuah badan khusus yang mengawasi sistem jaringan bawah tanah kota. Jika ada satu saja tetangga kita yang tak setuju, semua rencana gagal total.
Kadang saya tertegun dan berpikir, lihat saja di Jakarta. Orang seenaknya mendirikan bangunan, memperluas rumah dengan menghancurkan terlebih dulu sarana publik yang ada di depan rumah ataupun dengan sengaja menghilangkan rancang bangun kota demi sisi komersiil belaka.
Tak pelak, kesemrawutan pembangunan sama dengan karut marut lalu lintas. Meski Afsel terkenal sebagai titik panas kriminalitas, tapi untuk urusan seperti di atas, membuat saya tertegun dan berpikir: tidak bisakah kita meniru itu semua.
Kadang saya tertegun dan berpikir, betapa sistem peradaban di Afsel memang sudah tertata rapi. Sopan santun di jalan raya begitu luar biasa, mereka sanggup untuk menunggu mobil yang memang berhak lewat terlebih dulu. Tengok saja kala berada di jalur perempatan yang tanpa lampu lalu lintas, mereka sudah mengerti untuk memberi kesempatan berdasar posisi.
Tidak seperti di kota-kota besar di Indonesia, angkutan umum saling potong, saling serobot jalur. Begitu juga dengan kendaraan pribadi yang enggan mengalah, terutama jika sudah berebut lajur di jam masuk kantor. Ruwet?saya pikir untuk urusan ini kita harus belajar pada sistem Eropa yang dianut Afsel.
Kadang saya tertegun dan berpikir, bagaimana kerasnya perjuagan seorang Nelson mandela untuk membangun negara yang kacau tidak karuan semenjak politif apartheid berhasil dikandaskan. Tentu, bukan hal mudah untuk membawa Afsel ke arah seperti sekarang.
Dan itulah yang membuat saya tertegun dan berpikir kala berada tepat di bawah patung Madiba setinggi empat meter di kawasan Nelson Mandela Square. Di sana, saya bisa merasakan kerja keras luar biasa dari generasi Madiba untuk mengembangkan sesuatu yang mungkin dahulu terasa mustahil.
Saat berada di bawah patung legenda hidup tersebut, Madiba seolah berbicara pada setiap orang yang lewat, bukan hanya saya yang tertegun dan berpikir, kalau apa yang diraihnya adalah berkat dukungan dari Anda semua. Saya berusaha untuk memahami, namun akhirnya saya menyerah, tak perlu lagi tertegun dan berpikir. Karena kini semuanya tinggal dinikmati dan generasi Afsel selanjutnya tinggal meneruskan.
Mungkin Anda bingung mengapa setiap kali awal paragraf selalu ada frase `kadang saya tertegun dan berpikir'. Tidak ada arti apapun, itu hanya apa yang ada terlintas di kepala untuk menunjukkan betapa Madiba adalah sosok yang selalu memberi inspirasi.
Patung besi dengan gaya Madiba yang khas, menjadi bukti. Patung itu menjadi ikon penting bagi kawasan bisnis Nelson Mandela Square di downtown Sandton City.
Tak heran kalau sang Madiba Statue menjadi tujuan para wisman yang tengah menikmati suasana santai di kawasan tersebut. "Saya tak pernah melewatkan diri untuk berfoto di bawah patung itu. Di sana saya bisa sedikit tertegun dan berpikir jernih, itulah kenapa saya selalu menyempatkan waktu," ungkap Angelina Davelonges, seorang pebisnis wanita asal Spanyol, yang setiap sekali sebulan selalu mampir ke Mandela Square.
Jadi, bagi pembaca, mungkin kalimat wanita tadi bisa menjawab rasa penasaran. Karena setiap orang yang ada di sana memang selalu seperti itu, termasuk saya.. Ayoba!!! (tribunnnews.com/bud)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.