Uji Aturan Presidential Threshold ke-14 Kalinya, MK Harap Permohonan Rizal Ramli Ada Perbedaan
Poin utama gugatan mereka yakni menghapus ambang batas syarat pencalonan presiden atau Presidential
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh mengatakan sudah belasan gugatan permohonan Pasal 222 Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan yang dimohonkan Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno dengan perkara nomor 74/PUU-XVIII/2020 disebut sebagai permohonan yang ke-14 menyoal Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Dalam perkara ini, Rizal dan Abdul dengan kuasa hukum Refly Harun mengajukan uji materiil ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) 20 persen dalam Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca: Pemilu AS 2020: Biden Tolak Klaim Trump bahwa Vaksin Covid-19 Segera Tersedia
Poin utama gugatan mereka yakni menghapus ambang batas syarat pencalonan presiden atau Presidential Threshold menjadi 0 persen.
"Terkait permohonan Pasal 222 ini dalam catatan di MK itu sudah 13 permohonan. Nah berarti hari ini yang ke-14. Saya kira kuasanya sudah mempelajari permohonan yang sebelumnya sudah diputus mahkamah," ungkap Daniel dalam sidang MK agenda pemeriksaan pendahuluan yang digelar virtual, Senin (21/9/2020).
Kendati demikian, Daniel menyebut permohonan yang diajukan Rizal Ramli cukup bagus karena mencantumkan contoh beberapa negara yang turut menganut sistem presidential.
Baca: Pemerhati Pemilu Usul Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada Kena Potong Jatah Kampanye
Hanya, Daniel memberi masukan kepada Pemohon maupun kuasa hukum untuk disempurnakan. Salah satunya yakni meminta Pemohon memfokuskan argumentasi soal negara penganut sistem Presidential Threshold. Sebab ada negara yang menganut sistem tersebut tapi ternyata hanya memiliki dwipartai.
Pemohon diminta fokus pada negara yang mirip atau punya kesamaan persis dengan sistem yang dianut Indonesia.
"Dalam permohonan saya lihat bagus sekali karena sudah mengambil contoh beberapa negara yang menganut sistem presidential," ujarnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta Pemohon benar - benar mempelajari putusan MK sebelumnya terhadap gugatan serupa. Tujuannya supaya terhindari dari lubang jarum atau keadaan ne bis in idem (perkara yang sama tidak bisa diadili dua kali).
"Karena memang mahkamah dalam putusannya pernah menyampaikan, kalau ada alasan atau dasar hukum berbeda itu bisa saja mahkamah berpendirian bahwa ini lolos dari keadaan ne bis in idem," ucap Arief.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.